Archives

gravatar

PROTECTING THE ENVIRONMENT

BAB I
SUMMARY

Penggundulan hutan yang merajalela terjadi Brazil dan Asia Tenggara mengakibatkan erosi tanah, spesies terancam punah, peningkatan emisi karbon. Sebenarnya, perlindungan hutan tropis sudah ada sejak lama dalam agenda internasional, pada 1982 didirikan Internasional Tropical Timber Organization (ITTO) untuk menangani manajemen produksi dan sumber daya untuk produsen dan perdagangan bagi konsumen. ITTO dan penerus perjanjian berikutnya menargetkan semua kayu tropis memasuki perdagangan internasional dari sumber yang dikelola secara berkelanjutan.
Convention on Biological Diversity (CBD) tahun 1992 menegaskan kembali tentang prinsip kedaulatan nasional atas sumber daya domestik dan kewajiban negara untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang memiliki 160 anggota, memberikan perlindungan dalam perdagangan internasional dalam spesies tertentu. Tetapi, tanggung jaawab utama tetap pada negara. Forest Stewardship Council (FSC) melakukan sertifikasi hutan sesuai dengan standar FSC yaitu dengan memperhatikan hak-hak kepemilikan, masyarakat pribumi, dan hak masyarakat dengan dampak lingkungan yang minimal. Saat ini, 5% dari hutan dunia sudah disertifikasi dengan standar FSC dan lebih dari 700 perusahaan yang bersertifikat untuk menjual produknya disetujui.
Isu lingkungan seperti perlindugan hutan tropis telah menarik perhatian internasional untuk melakukan tata kelola lingkungan global. Negara tidak dapat bertindak sendirian, negara-negara harus saling bekerjasama untuk mengatasi masalah lingkungan ini. Karena masalah-masalah tekanan penduduk, ekspoitasi sumber daya alam, dan pencemaran itu saling memiliki ketergantungan dan menjasi masalah kolektif bersama.
Isu lingkungan mempunyai hubungan dengan keamanan, ekonomi dan HAM. Tingkat percepatan pertumbuhan memiliki implikasi terhadap kebijakan lingkungan, keinginan dalam pertumbuhan ekonomi menyebabkan pengambilan keputusan yang berdampak negatif bagi lingkungan. Terjadi pelanggaran HAM terhadap beberapa aktifis lingkungan seperti pelecehan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Kurangnya sumber daya alam merupakan ancaman bagi keamanan negara.
Pada tingkat antar pemerintahan didirikan International Commission for the Rhine and Danube Rivers pada abad ke-19, komisi kerjasama internasional antara Amerika dan Kanada dibentuk pada 1909. Sedangkan, pada tingkat non-pemerintah, organisasi lingkungan hidup pertama antara lain The Society for the Protection of Bird (1889) dan the Sierra Club (1892). LSM lingkungan internasional pertama adalah The Society for the Preservation of the Wild Fauna of the Empire (1903).
Konferensi internasional menjadi peran kunci dalam evolusi tata lingkungan global, seperti LSM. Pada akhir 1960an, Swedia dan negara-negara Eropa Utara lainnya mengusulkan sebuah konferensi internasional tentang lingkungan. Konferensi internasional pertama diadakan pada 1968 di baawah UNESCO. Lalu diikuti oleh Konferensi Stockholm pada tahun 1972 dan menempatkan masalah dalam agenda PBB. Sekretaris Jenderal UNCHE, Maurice Strong menjadi pemimpin untuk menjembatani perbedaan kepentingan antara Utara dan Selatan. Dalam Deklarasi Stockholm terdapat 26 prinsip agar menyerukan negara-negara dan organisasi internasional mengkoordinasikan kegiatan ini. Lalu, peserta konferensi menyerukan pembentukan badan PBB yang baru untuk menkoordinasikan kegiatan lingkungan dan meningkatkan kerjasama pemerintah, dan akhirnya dibentuk United Nations Environment Programme (UNEP).
Konferensi PBB tahun 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) diselenggarakan di Rio de Janeiro. Hasil utama dari UNCED adalah agenda 21 yang berisi prinsip-prinsip kunci dan ketentuan untuk mengelola sektor lingkungan. KTT Johannesburg tahun 2002 yang diadakan di Rio de Janeiro bertujuan untuk menaikkan taraf hidup masyarakat dari kemiskinan, mencegah dan mengurangi polusi dan penebangan hutan. Hasil utama dari KTT Johannesburg, Plan of Implementation (Rencana Pelaksanaan), merencankan beberapa target, yaitu : akses untuk air yang bersih dan sanitasi atau pengairan yang layak, pemulihan perikanan, pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati, penggunaan bahan kimia yang lebih bersahabat dengan lingkungan, dan lebih banyak menggunakan energi yang terbaharu, tetapi hal itu masih dalam tahap perencanaan.
Karena KTT Johannesburg 2002 dianggap mengecewakan dibandingkan dengan KTT sebelumnya, maka diadakanlah ad hoc (pengadilan khusus) karena hal ini menjadi agenda internasional, memaksa negara untuk mengadopsi agenda nasional, mengatur negara untuk dapat menerima peraturan yang baru, membangun bersama komunitas ilmiah dan LSM lingkungan yang telah belajar satu sama lain.
Peran LSM sangat penting didalam permasalahan lingkungan sejak abad ke-19. Sampai saat ini sudah 22.600 lebih organisasi yang berusaha untuk membantu lingkungan seperti Earthwatch, Conservation International, The Nature Conspiracy. Ada beberapa fungsi LSM lingkungan dalam urusan lingkungan. Pertama, LSM tampil sebagai kritikus internasional, terutama dalam masalah lingkungan. Kedua, LSM berfungsi sebagai bagian dari komunitas ilmiah. Ketiga, LSM sebaiknya bekerjasama dengan lembaga internasional, dan menawarkan mekanisme penyelesaian sengketa. Keempat, LSM dapat melakukan pemeriksaan ditempat, seperti TRAFFIC yang mengawasi konvensi CITES. Dan yang terakhir, LSM bisa mempengaruhi kebijakan lingkungan yang dibuat oleh negara.
Komunitas ilmiah mempunyai peranan penting dalam pemerintahan global terhadap lingkungan. Apabila ada permasalahan lingkungan yang mendapat perhatian, komunitas tersebut memanggil para ahli lingkungan dan ekologis untuk meneliti permasalahan tersebut. Untuk membentuk sebuah komunitas ilmiah yang sukses harus terus dipelihara, kesempatan penelitian yang baru harus ada dan jaringan kerja harus dikembangkan.
Hasil dari pengadilan khusus tidak hanya susunan dari komunitas ilmiah dan pengembangan LSM, tapi juga prinsip-prinsip yang jelas. Adanya prinsip dari rezim lingkungan yang membuktikan bahwa tidak ada prinsip yang merugikan, jalinan kerjasama yang baik, dan pengembangan yang berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang lain adalah perjanjian terhadap lingkungan global, perjanjian tersebut sudah dikembangkan dan dibentuk lebih dari 140 perjanjian lingkungan multilateral. Kesepakatan ini menyebutkan dengan jelas isi normatif dari isu spesifik dan menguraikan implementasi dari perjanjian tersebut.
Lembaga lingkungan hidup internasional adalah warisan dari konferensi ad hoc yang telah disepakati. Lembaga ini membantu anggota negara, LSM, dan IGO lain dalam mempromosikan standar lingkungan. Dan juga lembaga ini menegakkan norma lingkungan. Ada 5 lembaga yang dibagi menjadi dua, 3 lembaga diatur untuk mengatasi masalah lingkungan, dan 2 lainnya diatur untuk merespon isu-isu lingkungan.
Komisi Pembangunan Berkelanjutan didirikan setelah Konferensi Rio, sebagai badan untuk mempromosikan dan memonitor pelaksanaan Agenda 21, meninjau laporan Negara dan mengkoordinasikan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan dengan sistem PBB. Bank dunia merupakan donatur multilateral terbesar bagi ekonomi negaRA berkembang. oleh sabab itu, bank didorong berkomitmen untuk membuat kebijakan perkembangan ekonomi yang kompetibel dengan pelestarian lingkungan. komitmen bank untuk melestarikan alam masih tetap dipertanyakan dengan beberapa proyek bank yang kurang pro terhadap pelestarian lingkungan dan banyak critikan dari banyak NGO tentang hal ini.Dalam merespon terhadap tekanan NGO tersebut, Pada 1993, bank dunia mendirikan panitia pengawas yang terdiri dari tiga ahli independen yang bukan anggotanya, untuk menguji masalah yang dialami oleh masyarakat negara-negara berkembang.Meskipun banyak bank telah mengakui praktek tidak sehat dan panitia pengawas telah mengumpulkan saran bagi NGO, dan meneliti dam-dam dan proyek lainnya yang akan di lanjutkan didanai oleh bank.

GTT (General Agreement on Tariff and Trade) dan WTO (World Trade Organization) keduanya tidak baik bagi pelestarian lingkungan meskipun pada awalnya mendukung inisiatif pelestarian lingkungan. komitmen untuk melestarikan lingkungan dipertanyakan karena ketakutan bahwa daya saing pasar dunia akan turun sebab standar anti polusi.

Penipisan ozon dan pemanasan global merupakan tantangan unik bagi pemerintahan global. Kedua masalah yang sulit untuk menilai dari sudut pandang ilmiah, dan seringkali memerlukan prosedur yang canggih dan kontroversial. Kedua masalah tersebut mempengaruhi generasi-generasi mendatang. penipisan ozon telah diagendakan dalam agenda internasional pada tahun 1975, menyusul laporan yang disampaikan oleh dua ilmuwan Amerika disebabkan penipisan lapisan ozon menggunakan chlorofluorocarbons (CFC). keberhasilan pendekatan internasional untuk pemerintahan ozon dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Lebih penting lagi, mungkin peran penting dari negara-negara utama yang menunjukkan kepemimpinan terhadap masalah ini, termasuk Amerika Serikat, Kanada dan Norwegia.
Uni Eropa, NAFTA, ASEAN dan kesepakatan daerah masing-masing telah menanggapi masalah lingkungan dengan hasil yang berbeda-beda. Uni Eropa memiliki kebijakan lingkungan terkuat dan paling inovatif. Undang-undang tentang lingkungan disebutkan pada tahun 1987 untuk pertama kalinya di dalam the Single European Act yang menyerukan tentang percepatan integrasi pasar ekonomi tunggal. Uni Eropa telah menyetujui menawarkan dua ratus peraturan lingkungan, yang meliputi isu-isu seperti udara, air, tanah, dan pembuangan limbah. Sebagian besar undang-undang itu disahkan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dua inovasi besar terjadi pada tahun 1990an. Pada tahun 1992, dewan Uni Eropa memberlakukan aturan untuk pemberian EU eco-labels untuk produk ramah lingkungan, yang menyadarkan konsumen untuk memilih jenis-jenis barang. Dan pada tahun 1994, Badan Lingkungan Eropa didirikan untuk mengumpulkan data dan menyediakan informasi untuk perundang-undangan lingkungan yang baru. Sebagai lingkungan sensitif dan maju seperti Uni Eropa dari segi isu lingkungan, perbedaan politik dan masalah pelaksanaan masih lazim terjadi. Dengan ekspansi Uni Eropa di tahun 2004, agenda lingkungan akan menjadi diperebutkan sekali lagi, karena anggota baru berada di tingkat yang lebih rendah dari pembangunan ekonomi dan memiliki peraturan lingkungan yang masih lemah.
NAFTA ditandatangani pada tahun 1995, pendekatan mengenai perlindungan lingkungan dipandang dari dua sudut yang berbeda. Pertama, NAFTA menangani sanitary dan phytosanitary (kebersihan dan kesehatan tanaman). Kedua, NAFTA mengembangkan hubungan eksplisit antara perdagangan dan lingkungan. NAFTA adalah perjanjian perdagangan internasional pertama yang menggabungkan tindakan lingkungan yang kuat dan menyediakan konsultasi LSM, perusahaan multinasional juga dijamin peraturan yang jelas dan transparan untuk melindungi hak-hak investor.
Tidak semua daerah telah berhasil dalam menangani isu-isu tata kelola lingkungan. ASEAN memberikan contoh sebagai suatu organisasi regional yang telah memperluas agendanya untuk memasukkan isu-isu lingkungan dan menggabungkan LSM ke dalam aktivitasnya. Negara-negara ASEAN mulai bekerja sama pada kebijakan lingkungan hidup pada tahun 1977, dari 1989, pertemuan tahunan ahli lingkungan pemerintah ditahan dan pada tahun 1994, LSM dan masyarakat adat diberi peran dalam konsultasi multilateral.
Rezim dan lembaga di tingkat global, regional, dan lokal semua berkontribusi terhadap tata kelola lingkungan. Mereka menyediakan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang telah ada dalam organisasi. Namun, ada pertanyaan kritis yang harus dibahas. Apakah berbagai bagian benar-benar memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah-masalah tertentu? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab secara berurutan dengan memeriksa pelaksanaan, kepatuhan, dan efektivitas secara terpisah. Seberapa efektif perjanjian lingkungan? walaupun kepatuhan mungkin tinggi, tetapi tidak memberitahu kita banyak tentang efektivitas, apakah masalah lingkungan dikelola atau dibuat lebih ringan. Penilaian itu membutuhkan lagi analisis bertingkat.

BAB II
REVIEW


Perlindungan terhadap lingkungan hidup telah menjadi isu internasional karena hal ini adalah masalah global yang saling berkaitan dan harus ditangani secara bersama. Kepedulian terhadap lingkungan hidup menjadi isu global karena :
1. Permasalahan lingkungan hidup ini selalu mempunyai efek global.
2. Isu lingkungan hidup juga menyangkut eksploitasi terhadap sumber daya global.
3. Permasalahan lingkungan hidup selalu bersifat transnasional.
4. Banyak kegiatan eksploitasi atau degradasi lingkungan memiliki skala lokal atau nasional.
5. Terjadinya eksploitasi yang berlebihan berhubungan dengan proses politik dan sosial ekonomi.
Ketika buku Silent Spring karya Rachel Carson diterbitkan, pada saat yang sama diadakan Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia I yaitu Konferensi Stockholm pada 1972. Setelah itu PBB membentuk UNEP (United Nations Environment Programme). Konferensi ini menghasilkan deklarasi dan rekomendasi dalam lima bidang utama yaitu pemukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikan, dan pembangunan.
Lalu pada tahun 1992, PBB mengadakan Konferensi Rio di Brazil untuk mendiskusikan masalah perlindungan iklim, pembangunan dan lingkungan, dan melakukan negosiasi-negosiasi untuk membentuk aturan. Anggota konferensi ini terdapat 170 negara. Hasil dari konferensi ini yaitu komitmen mengikat (legally binding) dan tidak mengikat (non-legally binding) serta Agenda 21. Contoh komitmen yang mengikat yaitu Convention on Biological Diversity (CBD), sedangkan komitmen yang tidak mengikat yaitu Deklarasi Rio.
Beberapa Organisasi Internasional seperti Uni Eropa, NAFTA, ASEAN dan beberapa kesepakatan yang berdomisili di sebuah daerah-daerah telah menanggapi secara serius terhadap tata kelola lingkungan. Karena mereka mulai berfikir bahwa pertumbuhan manusia yang secara pesat saat ini membutuhkan sumber daya alam yang lebih banyak, dan manusia itu sendiri cenderung memenuhi kebutuhannya dengan mengeksplorasi sumber daya alam dengan berlebihan. Maka dari itu organisasi-organisasi internasional menanngapi hal ini dengan serius dengan membuat peraturan-peraturan yang mengikat kepada beberapa negara yang tergabung dalam organisasi tersebut, mereka bukan hanya fokus terhadap isu-isu global dan reaksinya saja.
NAFTA memiliki chapter 11 yang bertujuan untuk melindungi investor dengan dapat menuntut pemerintah daerah. Chapter 11 dianggap sebuah undang-undang yang gagal karena tidak mengedepankan kepentingan lingkungan tapi hanya menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan multinasional karena chapter 11 cenderung lebih membela perusahaan multinasional.
ASEAN mulai memasukkan agenda tentang isu-isu lingkungan dan mulai menggandeng LSM untuk ikut serta di dalam aktivitas ASEAN. Masalah utama yang membayangi ASEAN adalah masalah kabut asap di tahun 1980-an, hal ini dikarenakan banyaknya hutan-hutan yang telah di rusak dan di bakar di beberapa daerah di Indonesia. ASEAN mulai melakukan sebuah kerjasama tentang lingkungan hidup di tahun 1977, tetapi di tahun 1989 pertemuan tahunan yang diselenggarakan ASEAN ditahan. Menurut Elliott ada 2 penyebab kegagalan terhadap lingkungan di ASEAN, yang pertama normatif yaitu ASEAN tidak melihat diri mereka sebagai daerah untuk berbagi identitas. Yang kedua material yaitu adanya beberapa negara yang masih kurang pemantauannya dan memiliki koordinasi yang buruk antar yurisdiksi.

BAB III
CRITICAL REVIEW

Lembah Sungai Amazon yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia dan merupakan warisan bersama umat manusia, berada di bawah tekanan lingkungan karena penggundulan hutan. Selain di Brazil, penggundulan hutan juga terjadi di Asia Tenggara yang sebagian besar terjadi di Indonesia. Kayu-kayu dipotong secara legal maupun ilegal dan dijual untuk pasar domestik dan pasar internasional. Ini terjadi karena lemahnya pengawasan dari pemerintah dan kurangnya kesadaran dari masyarakat mengenai akibat dari penggundulan hutan. Karena hutan adalah sumber oksigen dan sebagai paru-paru dunia, jadi apabila terjadi penggundulan hutan, maka efeknya akan terjadi secara global. Saat ini hanya 3 negara yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, yaitu Indonesia, Brazil, dan Kongo.
Walaupun dalam Konferensi Rio tercapai kesepakatan mengenai perlindungan lingkungan, tetapi pada praktek penerapannya tidak berjalan dengan mudah karena negara-negara anggota konferensi ini tidak benar-benar serius dalam menerapkannya. Oleh karena itu, diperlukan konferensi-konferensi lanjutan untuk membentuk aturan-aturan yang lebih rinci. Selain itu, KTT Hutan Kuno dengan pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati juga berakhir dengan kegagalan pada tahun 2002.
Dalam bacaan ini, dijelaskan mengenai perbedaan kepentingan antara Utara dan Selatan. Pada buku Pengantar Studi Hubungan Internasional karya Robert Jackson & Georg Sorensen juga dijelaskan tentang perbedaan pendapat antara kelompok developmentalis dengan kelompok environmentalis yaitu Utara dan Selatan. Kelompok developmentalis/Utara menginginkan pemenuhan kebutuhan manusia dengan cara pembangunan, yang tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Sedangkan kaum environmentalis/Selatan menekankan pada perlindungan lingkungan.
Pada bab ini penulis menjelaskan World Bank sebagai organisasi internasional yang dituntut dunia internasional bukan hanya mengurusi keuangan yang kompetibel namun juga ikut serta dalam pelestarian lingkungan. namun pada kenyataannya komitmen yang diungkapkan bank dunia untuk melestarikan lingkungan dipertanyakan dalam prakteknya, itu disebabkan karena banyak proyek yang dianggap banyak NGO tidak pro-lingkungan.

Hal yang penting juga di dalam lingkungan global adalah menyangkut masalah organisasi internasional. Organisasi internasional menjadi aktor yang penting di samping negara. Dalam hal lingkungan global, organisasi internasional terutama PBB, memiliki peran penting dalam menghasilkan konferensi-konferensi dan aturan-aturan yang mengharuskan pelestarian terhadap lingkungan global. PBB membentuk badan khusus untuk menangani masalah lingkungan seperti UNEP (United Nations Environment Programme). Selain itu, organisasi internasional ini juga dibantu oleh organisasi non-pemerintah (NGOs). Salah satunya yang terkenal adalah greenpeace. Tetapi tetap yang paling bertanggung jawab adalah masing-masing negara dalam mengelola lingkungan hidup di wilayahnya masing-masing.
Dalam buku Pengantar Studi Hubungan Internasional karya Robert Jackson & Georg Sorensen dijelaskan bahwa masalah lingkungan ini dapat menyebabkan konflik dan kerjasama antar negara. Sama seperti yang dijelaskan dalam bacaan ini, contoh konflik yang terjadi karena mencari jaminan pasokan sumber daya alam yaitu Agresi Jepang di China untuk mendapatkan minyak, Jerman menginvasi ladang minyak Rusia, perselisihan antara Mesir, Sudan, Etiopia untuk memenuhi kebutuhan air. Di sisi lain, permasalahan lingkungan ini, menciptakan kesadaran negara-negara untuk saling bekerja sama dalam mengatasi masalah lingkungan secara global. Karena degradasi lingkungan dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara negara-negara di dunia untuk mengatasi masalah ini.
Memang di zaman ini menjadi hal yang dilematis, di satu sisi manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi di sisi lain dampak dari kegiatan manusia tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, manusia harus menemukan cara agar manusia tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak lingkungan. Untuk tetap menjaga lingkungan, hal itu bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri, keluarga, masyarakat, negara, dan berlanjut secara global. Berbagai caranya antara lain menjaga kebersihan lingkungan, menanam tanaman di sekitar lingkungan kita, tidak melakukan penebangan hutan secara liar, mendaur ulang sampah organik dan non-organik, menggunakan barang yang ramah lingkungan, melakukan penghematan energi listrik, jika ingin mendirikan suatu perusahaan maka limbah yang dihasilkan harus dapat dikelola dengan baik agar tidak mencemari lingkungan, untuk tingkat pemerintah dan dunia internasional dalam pembuatan kebijakan-kebijakan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA


Dayoe. “KTT Bumi dan Program Sustainable Development dengan CBDR Principle.” Artikel diakses pada 21 Maret 2011 dari dayoe.wordpress.com/.../ktt-bumi-dan-program-sustainable-development-dengan-cbdr-principle/
Dea, Aldila. “Sistem Pesisir dan Pulau Kecil.” Artikel diakses pada 21 Maret 2011 dari s6.zetaboards.com/GeomaticsZeroNine/search/?c=3...10...
Jackson, Robert dan Sorensen, Georg. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup. “Sejarah dan Latar Belakang.” Artikel diakses pada 21 Maret 2011 dari www1.menlh.go.id/archive.php?action=info&id=3
Perwita, A.A. Banyu. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.

gravatar

pertahanan negara

BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini power berbagai negara selalu berkaitan dengan keamanan negara tersebut. Oleh karena itu, keamanan dapat dilihat dari beberapa faktor, pertahanan adalah salah satu faktor yang bisa digunakan untuk menilai beberapa kuat keamanan tersebut meskipun berbagai negara menggunakan beberapa bidang guna memperkuat pertahanan domestik. Makalah ini menjelaskan yang dimaksud dengan pertahanan umumnya dan Indonesia pada khususnya. Di Indonesia pada dasarnya undang-undang adalah produk hukum dengan strata tinggi, yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan untuk membuat aturan pelaksanaan (termasuk dalam bidang pertahanan).
Tak lepas dari pertahanan keamanan Indonesia yang bermula pada tahun 1945, telah memberikan pengalaman berharga dan nilai-nilai perjuangan yang penting dihimpun dan disusun dalam suatu konsepsi pertahanan kemanan yang tangguh dan ampuh, bagi upaya dan penyelenggaraan pertahanan kemanan Negara berdasarkan falsafah bangsa dan ideologi serta dasar Negara Pancasila dan UUD RI 1945.

A. Pengertian Pertahanan Indonesia :
• Pertahanan menurut kamus besar Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 1989 adalah :
1) Perihal bertahan (mempertahankan).
2) Pembelaan (negara dsb).
3) Kubu atau benteng (yang dipakai untuk membela diri atau menangkis serangan).
• Pertahanan nasional menurut kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 1989 adalah :
1) Segala usaha untuk mencegah dan menangkis lawan, melindungi dan membela kepentingan nasional terhadap segala macam paksaan dengan kekerasan dan serangan dari pihak lain.
2) Kekuatan, kemampuan, daya tahan, dan keuletan yang menjadi tujuan suatu bangsa untuk menghadapi tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang datang dari luar ataupun dari dalam, yang secara langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
• Pertahanan negara menurut penulis sebaiknya adalah kesiapan negara untuk menghadapi ancaman yang berbentukkekerasan terhadap kedaulatan negara, disintegrasi dan keselamatan bangsa.

B. Beberapa Undang-Undang Pertahanan Indonesia Terkait Kebijakan Politik Dalam Negeri, Luar Negeri dan Stratejik :

Didasari dengan undang-undang adalah produk hukum dengan strata tinggi di Indonesia yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan untuk membuat aturan pelaksanaan (termasuk dalam bidang pertahanan). Oleh karena itu, beberapa undang-undang pertahanan Indonesia.

• Pasal 1 ayat (3) yang tertulis "Penyelenggaraan pertahanan negara adalah segala kegiatan untuk melaksanakan kebijakan pertahanan negara".
• Pasal 1 ayat (4) tertulis "Pengelolaan pertahanan negara adalah segala kegiatan pada tingkat strategi dan kebijakan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan pengawasan, dan pengendalian pertahanan negara".
• Pasal 1 ayat (5) tertulis "Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
• Pasal 6 tertulis "Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman".
• Pasal 7 ayat (3) tertulis "Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa".
• Pasal 16 ayat (7) tertulis "Menteri bekerjasama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan".
Dari beberapa UU tentang pertahanan Indonesia diatas dapat diberi kesimpulan bahwa lembaga seperti Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Pemerintah, Menteri, TNI dan masyarakat adalah pihak terkait untuk menjaga pertahanan Indonesia.
C. Alat Pertahanan Negara Indonesia
Alat pertahanan Indonesia yaitu POLRI dan TNI, yang sesuai dengan UU halaman 6 alinea ke 3 yang menyebutkan bahwa "Tentara Nasional Indonesia", yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara adalah alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan negara, sedangkan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat".
Dalam perjalanannya khususnya TNI yang terdiri dari AD, AU dan AL yang perannya untuk menjaga kemanan pertahanan Negara dari negara lain yang pada 10 tahun terakhir ini mengalami penurunan terkait masalah sengketa dari negara lain tentang batas wilayah. Upaya yang dilakukan saat ini oleh pemerintah yaitu meningkatkan anggaran dana yang cukup untuk TNI guna memperkuat NKRI sebagaimana kekuatan pertahanan pada masa sebelumnya yakni Indonesia yang ditakuti di Negara Asia.
Dalam merumuskan kebijakan pertahanan negara, ada beberapa prinsip yang perlu ditegakan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan
2. Mengedepankan prinsip-prinsip humaniter
3. Memadukan strategi penangkalan, perdamaian dan pertahanan aktif
4. Mengandalkan konsep integrated armed forces









D. Alur Kebijakan Pertahanan Negara


















Pada tahap awal pemerintah merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Perumusan ini dilakukan oleh Presiden dengan melibatkan Dewan Pertahanan Nasional. Anggota Dewan Pertahanan Nasional terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Pejabat-pejabat pemerintah dan Non Pemerintah serta Departemen Pertahanan. Kebijakan Umum Pertahanan Negara ini dioperasionalisasikan oleh Menteri Pertahanan dengan merumuskan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara dan Kebijakan Umum Penggunaan Kekuatan TNI. Oleh Panglima TNI, seluruh kebijakan politik tentang Pertahanan Negara tersebut dijadikan pedoman untuk merencanakan pengembangan strategi-strategi militer. Perumusan dan pelaksanaaan rangkaian kebijakan pertahanan negara ini secara berkala diawasi oleh DPR.

BAB II
PEMBAHASAN STUDI KASUS:
KEBIJAKAN PERTAHANAN INDONESIA DI SELAT MALAKA
A. Selat Malaka sebagai Ancaman Terhadap Pertahanan dan Keamanan Maritim Indonesia
Selat Malaka adalah selat yang tersibuk yang hampir dapat disamakan dengan terusan Suez dan Panama. Permasalahannya adalah bahwa Selat Malaka bukanlah kepemilikan oleh satu negara, wilayah itu merupakan kepemilikan oleh tiga negara pantai (littoral state)—Indonesia, Malaysia, Singapura. Selat Malaka menghubungkan perdagangan internasional melalui kapal laut dari Afrika, Timur Tengah, Eropa dan Amerika menuju ke kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Sebagai contoh, pada 2009 perdagangan dari negara-negara Uni Eropa ke Asia Tenggara dan Timur mencapai US$ 557 milyar. Disini terlihat bahwa Selat Malaka merupakan aset yang berharga karena Indonesia dan Malaysia menjadi salah satu titik pelabuhan bagi para kapal pengangkut barang-barang asing.
Banyaknya jumlah arus lalu lintas perdagangan internasional menjadi problematisasi bagi pertahanan Indonesia. Berdasarkan UNCLOS 1982, maka pada laut wilayah atau laut teritorial, kapal-kapal asing memiliki hak lewat (innocent passages/sea land passages), namun tetap melalui izin dari negara yang memiliki yurisdiksi tersebut. Indonesia disulitkan dalam mengatur dan mengawasi kapal-kapal asing yang melewati selat ataupun bersinggah ke pelabuhan. Indonesia dituntut untuk memiliki sistem keamanan navigasi yang baik dalam memantau perairan NKRI.
Tindak kriminal yang timbul dalam perairan selat malaka adalah dari organisasi kejahatan transnasional meliputi perompakan dan perampokan senjata, pencemaran lingkungan serta penyelundupan narkoba dan senjata. Bentuk ancaman itu berdampak buruk terhadap keamanan maritim (maritime security). Berdasarkan data dari kementerian pertahanan, pada 2003 terdapat lebih dari 150 kasus penyerangan atau perompakan yang terjadi di Selat Malaka. Selain itu, pasca 9/11, Selat Malaka dianggap sebagai selat yang menjadi penghubung dan penyedia logistik (senjata) jaringan-jaringan terorisme di Asia Timur dan Tenggara. Mengancam berarti bukan hanya karena mengganggu kepentingan ekonomi negara dalam kelancaran perdagangan internasionalnya—seperti rusak dan hilangnya barang-barang perdagangan—tetapi juga berpengaruh terhadap stabilitas keamanan kawasan perairan dan juga keamanan negara itu sendiri. Selat Malaka adalah selat yang strategis, oleh karena itu Indonesia dan Malaysia sebagai pemegang otoritas yurisdiksi terhadap teritorial tersebut memiliki tanggung jawab dalam mengoperasikan keamanan maritimnya bersama-sama.

B. Joint Border Committee Indonesia-Malaysia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau adalah negara kepulauan terbesar dengan wilayah yurisdiksi laut sangat luas serta penduduk yang sangat beragam. Ancaman yang dihadapi Indonesia dapat berupa ancaman militer maupun ancaman non militer, sehingga kekuatan pertahanan diperlukan untuk menghadapi kedua jenis ancaman tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Agar bisa menghadapi ancaman yang mungkin timbul dari pihak manapun, sangat diperlukan adanya penyelenggaraan negara yang handal serta yang mempunyai daya tangkal yang tinggi. Oleh karenanya diperlukan pembangunan kekuatan dan kemampuan secara terus menerus dan berkesinambungan tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dapat bekerjasama dengan negara tetangga seperti Malaysia.
Demi mempertahankan kedaulatan Indonesia dari berbagai ancaman yang dapat menyerang dari mana saja, khususnya dari Selat Malaka, maka pada tahun 1972 diadakan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia dalam bentuk Komite Perbatasan Bersama (Joint Border Committee/JBC) . Pada awalnya, JBC dibentuk untuk menghadapi pemberontakan komunis di perbatasan Malaysia Timur yang kala itu tengah terjadi penyebaran faham komunis di kawasan Asia Tenggara dan kebanyakan kasus penyebaran ini disertai dengan pemberontakan di wilayah tertentu yang agak jauh dari pusat pemerintahan seperti selat malaka. Tentunya hal ini dapat mengancam status kedaulatan Indonesia dan Malaysia yang notabene baru saja merdeka.
Pada tahun 1984, kerjasama ini diperbaharui dengan memasukkan patroli laut dan udara di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia dan Selat Malaka untuk penjegalan terhadap penyelundupan, perdagangan obat bius dan pemalsuan uang yang berkembang pesat khususnya melalui jalur strategis di selat malaka . Sejak 1984, jalur perbatasan selat malaka kerap kali dimanfaatkan oleh beberapa oknum pedagang antar negara ataupun imigran asing untuk memanfaatkan wilayah strategisnya untuk meraup keuntungan lebih besar dari bisnis haram yang dijalaninya seperti penyelundupan dan perdagangan obat bius dengan memanfaatkan kelengahan pengamanan pemerintah di jalur malaka tersebut. Bahkan setelah berakhirnya perang dingin, isu kejahatan transnasional melalui selat malaka ini semakin berkembang dan mengancam tidak hanya keamanan Indonesia-Malaysia, tetapi juga kawasan ASEAN, seperti adanya perdagangan manusia (human trafficking), penebangan kayu illegal, penyelundupan manusia (people smuggling) khususnya wanita yang akan dijadikan pekerja seks komersial dan anak-anak, penyelundupan senjata tajam ke berbagai wilayah konflik yang ada di Indonesia pada tahun 2003-2004 (Aceh dan Ambon) dan di sekitar kawasan ASEAN , dan kasus-kasus lainnya yang semakin berkembang dan tidak hanya terfokus pada kedua negara tersebut. Tentunya sudah menjadi kewajiban Indonesia-Malaysia untuk memperketat pengamanan di wilayah selat Malaka, karena keduanya merupakan negara yang berbatasan langsung dengan lokasi strategis tersebut. Dan karena semakin berkembangnya kasus kriminalitas yang dilakukan melalui jalur selat malaka, maka kerjasama JBC semakin dikembangkan cakupannya dengan isu-isu yang berkembang demi menjaga stabilitas keamanan masing-masing.
Hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang dilandasi oleh adanya semangat serumpun ini telah mendorong terus berkembangnya kerjasama kedua negara khususnya di sektor pertahanan wilayah perbatasan di selat malaka. Dengan ditambahnya poin-poin penting lainnya dalam status kerjasama JBC, semakin mempermudah pemerintah kedua belah pihak untuk menanggulangi seputar permasalahan yang terjadi di Selat Malaka. Walaupun masih terdapat beberapa masalah terkait perbatasan antara Indonesia-Malaysia, seperti garis batas territorial yang masih menjadi perdebatan, pencurian sumber daya alam oleh oknum tertentu, saling klaim wilayah pulau, dan sebagainya, hal-hal seperti ini setidaknya dapat ditanggulangi bersama oleh badan kerjasama resmi yang bersifat bilateral antara Indonesia-Malaysia seperti Joint Border Committee.

C. General Border Committee Malaysia-Indonesia
Kepemilikan bersama berarti juga memiliki tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, Indonesia dan Malaysia memikul beban bersama untuk menangani masalah keamanan pada Selat Malaka. Pada 1971, Indonesia dan Malaysia mensepakati perjanjian militer dan pertahanan pada masalah perbatasan yang dikenal dengan General Border Committee Malaysia-Indonesia (GBC Malindo). Pertemuan ini diselenggarakan tiap tahunnya secara bergilir, dan sekarang sudah menjalani 38 kali pertemuan rutin, salah satunya pertemuan ke-37 yang diselenggarakan di jakarta pada 2007.
Dampak positif dari perjanjian ini adalah pembentukan hubungan kerjasama antara kedua tentara militer yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan ATM (Angkatan Tentara Malaysia). Mereka melakukan koordinasi pengamanan di perbatasan melawan kegiatan-kegiatan kriminal dan ilegal. Untuk selat malaka, mereka bersama-sama mengadakan patroli dan pengawasan terhadap kapal-kapal asing. Dengan adanya kerjasama ini, maka setidaknya Indonesia dapat menutupi kekurangannya terhadap alat navigasi dan alutsista.

D. Strategi Kebijakan Keamanan Maritim Indonesia dengan Malaysia
Indonesia dan Malaysia sebagai negara pantai tidak bisa menghentikan kegiatan negara di perairan internasional Selat Malaka (Internasionalisasi Selat Malaka). Indonesia dan Malaysia dirugikan secara finansial karena mereka harus menangggung segala beban untuk mengawasi seluruh kapal asing dan konsekuensi jalur perdagangan internasional. Wilayah Indonesia dan Malaysia bukan hanya dilewati secara bebas namun juga sangat mungkin dirusak.
Komunitas internasional hanya menikmati segala keuntungan yang didapatkannya pada jalur laut, yang menderita adalah negara-negara pantai di Selat Malaka yang mengalami berbagai polusi lingkungan seperti pencemaran minyak oleh kapal yang juga berdampak terhadap kehidupan lingkungan sekitar pantai. Sulit untuk dapat mengembalikan keadaan lingkungan perairan seperti keadaan semula atau akan membutuhkan biaya yang besar.
Keamanan Selat Malaka adalah milik seluruh pengguna selat tersebut. Negara pantai yang memiliki otoritas tidak bisa menjamin keamanan para kapal dari segala ancaman yang mungkin terjadi—seperti perompakan, penyelundupan obat atau imigran ilegal. Oleh karena itu, negara-negara pantai pada 2005 melalui bantuan IMO (International Maritime Organization) menyepakati perjanjian Jakarta Meeting. Isi dari kesepakatan itu secara spesifik menyatakan kesediaan negara-negara pantai untuk membuka bantuan dari negara-negara pengguna perairan Selat Malaka dalam upaya peningkatan keamanan perairan. Atau dengan kata lain, negara-negara yang intens seperti Jepang, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab berhak memberikan bantuan untuk menjamin keselamatan dan keamanan kapal-kapalnya—menjaga kepentingan ekonominya.
Namun, tentu saja penegak hukum adalah negara-negara pantai. Negara-negara pengguna tidak diperbolehkan untuk ikut intervensi dalam pengoperasian, pengawasan, patroli dan bertindak langsung kepada para pelanggar seperti organisasi kejahatan transnasional. Semua itu adalah hak dari para negara pantai, itu merupakan pencerminan dari sovereignty. Negara pengguna hanya diperbolehkan memberikan segala bantuan kapabilitas, instrumen dan alat-alat operasional kepada negara pantai. Sebagai contoh Amerika Serikat memberikan teknologi radar IMSS yang memudahkan pengawasan terhadap kapal-kapal yang masuk Selat Malaka.
Penerimaan bantuan tersebut merupakan strategi Indonesia dan Malaysia sebagai negara pantai yang memiliki otoritas terhadap Selat Malaka. Walau mereka menerima keuntungan dari banyaknya kapal yang berlabuh dan perdagangan jalur laut internasional, namun mereka menerima kerugian dari pengawasan dan penegakan hukum dalam pertahanan nasional, keamanan maritim dan keselamatan lingkungannya. Dengan demikian, bantuan-bantuan dari negara lain merupakan hal yang menguntungkan bagi Indonesia dan Malaysia selama negara pengguna (komunitas internasional) tidak ikut serta dalam pelatihan dan operasi militer di perairan Selat Malaka. Bagi Indonesia, hal tersebut juga sebagai wujud pelaksanaan prinsip politik luar negeri ‘bebas aktif’.

E. Tantangan dan Arah Kebijakan
• Belum komprehensifnya kebijakan dan strategi pertahanan.
Hal ini dibuktikan dari penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidak jelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia. Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan.
• Belum mantapnya partisipasi masyarakat (civil society) dalam pembangunan pertahanan.
• Kurang memadainya sarana dan prasarana, peningkatan profesionalisme serta rendahnya kesejahteraan anggota TNI.
• Rendahnya kondisi dan jumlah Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista).
Berdasarkan hitungan jumlah tank, ACV dan arteleri dapat diketahui bahwa Alusista TNI AD saat ini berjumlah 1.919 unit. Berdasarkan uraian tentang postur Alusista TNI AD yang ideal dilihat dari jumlah komposisi, spesifikasi tank ACV, artileri, total alusista TNI AD menjadi sebanyak 41.886 unit. Jumlah Alusista sebanyak ini membuat TNI AD menjadi kekuatan tentara terbesar di Asia Tenggara dan nomor dua di Asia Pasifik setelah Rusia. Namun sayangnya, pemerintah hanya meloloskan sekitar 30% dari kebutuhan nyata TNI AD yang berjumlah US$ 18,53 Milyar dengan hanya memberikan US$ 5,56 Milyar (data pada tahun 2006).
• Belum tercukupi anggaran pertahanan secara minimal (anggaran pertahanan Indonesia hanya 1,1 % dari PBD/Produk Domestik Bruto atau 5,7 % dari APBN)

BAB III
KESIMPULAN

Selat Malaka sebagai perairan yang menjadi lalu lintas perdagangan Internasional merupakan wilayah strategis untuk melakukan perdagangan antar negara dan menjadi salah satu selat terpadat dalam lalu lintas perairan seperti Terusan Suez. Sebagai negara pantai pemilik selat malaka ini, Indonesia-Malaysia mempunyai kewajiban khusus untuk menjaga stabilitas keamanan dan pertahanan di wilayah tersebut, karena berbagai ancaman bisa saja terjadi jika terdapat kelengahan dari pengamanan selat malaka seperti ancaman dari perompak kapal, imigran gelap dan penyelundupan senjata tajam. Meskipun Indonesia dan Malaysia dirugikan secara finansial karena harus menangggung segala beban untuk mengawasi seluruh kapal asing dan konsekuensi jalur perdagangan internasional, namun sudah menjadi kewajiban bagi keduanya untuk menjaga keamanan agar terhindar dari ancaman serangan atas kedaulatan Indonesia dan Malaysia dari pihak asing.
Dengan adanya bantuan dari IMO (International Maritime Organization) yang disepakati pada perjanjian Jakarta Meeting, Indonesia, Malaysia dan negara pantai lainnya di Asia Tenggara bersedia menerima bantuan untuk menjaga keamanan perairan dari negara-negara yang intens seperti Jepang, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab berhak memberikan bantuan untuk menjamin keselamatan dan keamanan kapal-kapalnya—menjaga kepentingan ekonominya. Namun, tentu saja penegak hukum adalah negara-negara pantai. Negara-negara pengguna tidak diperbolehkan untuk ikut intervensi dalam pengoperasian, pengawasan, patroli dan bertindak langsung kepada para pelanggar seperti organisasi kejahatan transnasional. Semua itu adalah hak dari negara pantai, dan merupakan pencerminan dari sovereignty.
Dampak positif dari perjanjian JBC dan GBC ini adalah pembentukan hubungan kerjasama antara kedua tentara militer yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan ATM (Angkatan Tentara Malaysia). Mereka melakukan koordinasi pengamanan di perbatasan melawan kegiatan-kegiatan kriminal dan ilegal. Untuk selat malaka, mereka bersama-sama mengadakan patroli dan pengawasan terhadap kapal-kapal asing. Dengan adanya kerjasama ini, maka setidaknya Indonesia dapat menutupi kekurangannya terhadap alat navigasi dan alutsista.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Irsan, Abdul. Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. 2007. Jakarta: Grafindo.
Guan, Kwa Chong dan John K. Skogan Maritime Security in Southeast Asia. 2007. New York: Routldge
Yusuf , Chandra Motik. Negara Kepulauan Menuju Negara Maritim. 2010. Jakarta: Lembaga Laut Indonesia.


Website :
Conie Rahakundinie Bakrie, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal diakses dari http://books.google.co.id/books?id=ipwN_Dg8tJUC&pg=PA176&lpg=PA176&dq=jumlah+alutsista+tni&source=bl&ots=VSaqxoTnEr&sig=qu7Iggj7XemmmCw0kXkqZcmikLY&hl=id&ei=f7TATekPJGIrAe628ztBw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=4&ved=0CDEQ6AEwAw#v=onepage&q=jumlah%20alutsista%20tni&f=false pada 03/05/2011
http://bataviase.co.id/node/275073 diakses pada 02/05/2011
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=2&vnomor=15 diakses pada 03/05/2011
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7788 diakses pada 02/05/2011.
http://www.kemlu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=id&ItemId=aa2d0627-c3b7-47a4-b389-da5bca18dd54 diakses pada 02/05/2011
http://www.kemlu.go.id/Lists/BilateralCooperation/DispForm.aspx?ID=172&l=en diakses pada 02/05/2011
http://hankam.kompasiana.com/ diakses pada 03/05/2011
http://www.kbrimalaysia.com/ diakses pada 03/05/2011
Tim Pokja ProPatria, November 2004 – Januari 2005 diakses pada 03/05/2011 http://www.propatria.or.id/loaddown/Kajian Kritis/Tata Kewenangan dan Struktur Organisasi Penyelenggaran Pertahanan Negara.pdf

gravatar

IGO

Ada banyak faktor yang membentuk peran negara dalam jaringan suatu organisasi, dan secara jelas bahwa negara berhubungan dengan kekuasaan. Dalam teori Realis dan Neo Realis, hegemoni kekuasaan global dan regional telah menciptakan IGO untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan pengaruh mereka. Pola dari pemerintahan global pun sering muncul agar mendukung kekayaan dan kekuasaan, namun hasilnya tidak selalu sesuai dengan distribusi kekuasaan. Sedangkan diplomasi multilateral mampu menangani banyak kesempatan untuk membangun koalisi dan inisiatif lain yang dapat diposisikan ke negara–negara kecil atau sebagai kekuatan menengah dalam mempengaruhi posisi pemimpinnya. Akan tetapi tidak semua negara memiliki kepedulian yang sama tentang isu-isu global dan agenda regional. Proses pengambilan keputusan dari beberapa IGO adalah hak istimewa suatu negara melebihi negara lainnya. Hal ini memberikan pengaruh-pengaruh tertentu dalam menghasilkan voting sistem di World Bank dan IMF dengan efek yang serupa. Negara-negara menggunakan organisasi internasional dengan cara yang berbeda sebagai bargaining power. Negara-negara juga dapat menggunakan organisasi internasional untuk mendapatkan cap kolektif dari penyetujuan aksi spesifik tertentu, sudut pandang dan prinsip-prinsip, cara untuk membuat peraturan baru, dan menyelesaikan perselisihan. Keberadaan organisasi global dan regional mengizinkan suatu negara untuk mencari forum terbaik untuk mengejar national interest-nya, namun pertemuan IGO juga memaksa pemerintah untuk mengambil posisi dalam isu-isu dari middle east sampai degradasi internasional, mulai dari arsip hak asasi manusia milik China sampai status wanita. Untuk mengkoordinasikan partisipasi dalam berbagai IGO dan memastikan partisipasi yang efektif, banyak pemerintahan telah mengembangkan spesialisasi dalam pengambilan keputusan dan proses implementasi seperti yang telah dilakukan antar komite. Secara internasional pemerintah menyetujui norma dan prinsip-prinsip, baik dalam hak asasi manusia, hukum laut atau dagang, dan memaksa negara untuk men-set kembali kebijakan mereka jika mereka mengharapkan keuntungan dan timbal balik dari negara-negara lain. Banyak cara yang dilakukan NGO dan grup pembela transnasional yang ingin mempengaruhi negara-negara. Banyak dari interaksi tersebut tergantung dari karakteristik kebijakan domestik, seperti budaya politik, norma, dan proses kebijakan, sikap dari kelompok sosial yang berbeda, dan juga opini publik. Negara nondemokratis, contohnya, membatasi kehadiran dan kegiatan dari NGO dalam wilayah mereka dan menentang partisipasi NGO dalam pemerintahan global.
Jika dilihat dari sudut pandang Liberal dan Konstruktifis, politik memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan negara, komitmen internasional, dan sikap terhadap pemerintahan global. Itulah alasan kenapa negara-negara memilih untuk bekerjasama secara multilateral dan kecendrungan hubungan mereka ke arah pemerintahan global lebih tergantung kepada dinamika politik domestik daripada interaksi antar negara, IGO, dan NGO. Kedaulatan suatu negara menjadi kunci variabel pemerintahan global. Piagam PBB menjelaskan bahwa kedaulatan tidak bisa dijadikan cara untuk merespon agresi dan ancaman perdamaian. International Customary dan Treaty Law juga menjadi batasan dari kedaulatan, dan secara cepat kedaulatan diinterprestasikan sebagai pembawa kewajiban termasuk kewajiban melindungi perorangan, bukan integritas suatu wilayah dan kemerdekaan. Namun dalam jaringan IGO, NGO, negara, dan individual, mereka menciptakan dan menopang pola dari kerjasama dan pemerintahan internasional. Mereka diharuskan mempengaruhi bahkan negara terbesar dan terkuat kedalam sistem, seperti sejumlah besar dalam negara kecil dan midle power. Negara ini harus memberikan nilai kepada pemerintahan global sebagai cara untuk menginduksi negara lain untuk mengubah perilaku mereka, meredefinisi kepentingan mereka, dan untuk menerima kendala tertentu, walaupun dengan jaminan yang memadai untuk sebuah timbal balik.
Untuk tujuan analisis, kita melihat peran kunci Amerika Serikat yang bermain sebagai negara dominan, negara dengan kekuasaan yang hegemon sejak perang dunia kedua dan faktor yang membentuk tersebut dicampur kedalam arsip sebagai pendukung dari multilateralisme. Kita kemudian menyelidiki beberapa peran lain yang memiliki major power. Peran seperti middle power (Canada, Australia dan India) meningkatkan pengaruhnya dengan jaringan dari Organisasi Internasional
Sebagai kekuatan dominan pasca perang dunia II, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam membentuk struktur sistem internasional, termasuk pendirian dari banyak IGO, seperti United Nations, Institusi Bretton Woods, dan International Atomic Energy Agency (IAEA). Ketentuan dari piagam PBB sebagai contoh konsisten terhadap kepentingan-kepentingan US. Dan sampai 1960, US terhitung aktif dalam mendukung sebagian besar dari kebanyakan isu internasional. Hal ini memungkinkan bagi US untuk menggunakan PBB dan agen-agen spesial PBB sebagai instrumen dari kebijakan nasionalnya dan untuk menciptakan institusi dan peraturan yang cocok dengan kepentingan US. PBB dan NATO juga melayani politik domestik dengan menciptakan jaring dari ikatan internasional dan dukungan domestik. Konstitusi menyebabkan hal ini menjadi lebih sulit dalam administrasi, agar dapat mengembalikan kebijakan isolasionis. Sewell mengidentifikasi periode ini dari pasca perang kedua 1970 sebagai salah satu dari “unilateralisme yang agung”.
Hubungan antara US-IGO memiliki ketergantungan terhadap setidaknya 4 faktor dinamis. Pertama, hubungan tergantung kepada sifat dasar dari isu (Contoh: Penolakan Amerika terhadap kontribusi finansial UN yang tesebar lebih banyak dimana perbedaan kebijakan yang signifikan telah ada antara Amerika dan negara anggota lain. Oleh karena itu US terisolir & menjadi oposisi banyak pihak). Kedua, hubungan tergantung dari politik domestik Amerika yang dinamis temasuk pemegang kekuasaan atau presiden, hubungan eksekutif dan legislatif, lobi yang dilakukan kelompok-kelompok domestik, dan opini publik. Ketiga, hubungan IGO-US telah dijelaskan sebagian oleh budaya politik US, exeptionalisme, yang memiliki kisah panjang dalam budaya politik nasional. Akar ini dilengkapi dan diperkuat sekarang oleh Amerika yang berdiri sebagai negara super power, dan ukuran pengecualian dan kekuatan dari kemampuan militer serta ekonominya. Keempat, dari banyak sudut pandang baik dalam maupun luar, kekuatan exeptional Amerika menjelaskan ke-unilateral-an Amerika. Amerika tidak perlu melakukan tindakan dalam sistem internasional seperti negara lain. Kekuatan struktur, politik domestik, dan budaya politik merupakan pembenaran dari unilateralisme.
Pembagian negara dalam pemerintahan global : (1) Powerful States, yang tergabung didalamnya diantaranya Amerika, Rusia, China, Great Britain (Inggris), dan Perancis, Jepang, dan Jerman, yang secara ekonomi telah memberikan pengaruh bagi banyak isu-isu pemerintahan global. Peraturan-peraturan bagi negara-negara kuat ini telah berubah dari waktu kewaktu dan telah tervariasi bersama institusi regional dan global. (2) Middle States , yang tergabung didalamnya adalah Canada, Australia, Norwegia, Swedia, Argentina, Brazil, India, Nigeria, dan Afrika Selatan. Middle power state telah berperan penting dalam IGO dan pemerintahan global secara umum. Walaupun mereka tidak secara luas dianggap middle power, secara umum mereka adalah “middle” dalam term kekuatan dan ukuran. Dalam term kebijakan, mereka mengejar multilateralisme dan mengambil posisi kompromi dalam perselisihan, dan ikut dalam pembangunan koalisi untuk mengamankan reformasi dalam sistem internasional. (3) Small States, Developing States , yang tergabung didalamnya diantaranya adalah negara-negara berkembang dan negara-negara kecil. Bagi negara keci, berkembang, dan bagi semua negara, partisipasi dalam jaringan organisasi internasional tidak hanya bantuan dalam mendapatkan kebijakan asing secara langsung, tetapi juga meningkatkan jumlah kesempatan yang dapat mereka serap. Kesempatan untuk mempekerjakan ahli strategi dalam bantuan koalisi dan forum shopping adalah bagian dari diplomasi multilateral diplomasi dalam arena ini.
Diplomasi multilateral di dalam pemerintahan global : (1) Forum shopping. Secara singkat, banyak forum internasional mengartikan bahwa negara lebih sering memilih “where to take certain issues”. Meskipun beberapa isu secara logika hanya milik organisasi spesial yang relevan, peningkatan keterkaitan dari banyak isu meningkatkan kompertamentalisasi dari IGO yang ketinggalan zaman. Sebagai contoh, NGO telah secara cepat menekankan pekerja dan isu lingkungan dihubungkan dengan perdagangan seperti yang terlihat di WTO, bukan ILO atau UNEP. (2) Coalition Building. Negara menggunakan multilateral arena untuk membangun koalisi untuk menggabungkan kekuatan dan sumber daya mereka agar mendapatkan hasil yang lebih baik dari pada yang dapat mereka lakukan sendiri, common wealth merupakan contoh dari non alignment movement.
Tantangan dalam diplomasi multilateral: (1) Negoisasi Antar Budaya. Merupakan berbagai macam cara negosiasi, bahasa dan perbedaan budaya(dalam mewujudkan national interest).(2) Persilangan Budaya. Silang budaya & perbedaan bahasa menjadi variabel potensial yang penting dalam negosiasi. Silang budaya juga dapat menyebabkan konflik karena itu menjadi tantangan besar dalam negosiasi. (3) Cara Negoisasi, perbedaan negara yang memiliki gaya negosasi yang berbeda, hal ini berdasarkan nilai dari hubungan sosial, status, dan face, maksudnya adalah dalam melakukan diplomasi diharuskan berjumpa secara face to face di dalam negosisasi. (4) Persetujuan. Negara telah mengadopsi tekhnik untuk memfasilitasi persetujuan dan salah satu pendekatan yang telah digunakan dalam pengambilan keputusan adalah dengan cara konsensus. Cara ini menjelaskan suatu prosedur yang dapat mengaburkan divisi dan karenanya dapat menciptakan tindakan yang bermasalah. Cara kedua adalah power steering, dimana melibatkan kelompok kecil dari negara kunci dari pada mendapatkan negara lain untuk menerima rekomendasi mereka. Contohnya 5 member utama Dewan Keamanan. Cara ketiga adalah perbedaan signifikan dalam memfasilitasi negosiasi multilateral. Kunci individual dapat membungkam efek yang merugikan dari perbedaan kultur dan budaya melalui penggunaan dari berbagai cara negosiasi dan teknik meditasi untuk membangun acceptable bargains (tawaran yang dapat diterima). (5) Masalah kekuatan. Negara yang kuat tidak dapat diabaikan, tetapi kekuatan tidak secara langsung sama dengan kemampuan kepemimpinan dan dan kemampuan berdiplomatik. Dalam multilateralisme dibutuhkan keduanya. Maka dari itu seringkali dari muncul dari negara kecil dan bahkan tidak menutup kemungkinan muncul dari NGO atau international civil sevant.
BAB II
REVIEW

Dalam bacaan tersebut dijelaskan bahwa negara adalah aktor utama dalam suatu negara. Walaupun banyak aktor non-negara yang juga terlibat dalam pemerintahan global, tetap saja negara yang berhak mengambil keputusan. Negara-negara menciptakan International Governmental Organizations (IGO) atau Organisasi Pemerintahan Internasional, Norma Internasional, dan Hukum. Biaya operasi yang didapatkan IGO sangat bergantung kepada negara-negara yang membuatnya. Norma Internasional dan Peraturan Internasional hanya efektif untuk mengukur apakah suatu negara dapat mengikuti norma tersebut atau tidak. Sedangkan Non-Govermental Organizations (NGO) atau Organisasi Non-Pemerintahan Internasional berpartisipasi dalam konferensi antar negara, bantuan kemanusiaan, bantuan pengembangan, dan aktivitas lain yang semuanya bergantung dari persetujuan negara yang akan dibantu atau dikunjungi.
Dalam pandangan Realisme dan Liberalisme, negara adalah aktor utama dalam pemerintahan dunia, walaupun mereka membagi peran–peran dari aktor yang berbeda. Pandangan dari Neo Liberalis dan Konstruktifis, menekankan pentingnya suatu institusi, norma, dan jaringan dalam mempengaruhi suatu perilaku dari sebuah negara. Bagi Realis dan Neo Realis, hegemoni kekuasaan global dan regional telah menciptakan IGO untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan pengaruh mereka. Pola dari pemerintahan global pun sering muncul agar mendukung kekayaan dan kekuasaan, namun hasilnya tidak selalu sesuai dengan distribusi kekuasaan. Sedangkan Liberal dan Konstruktifis menilai politik memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan negara, komitmen internasional, dan sikap terhadap pemerintahan global. Itulah alasan kenapa negara-negara memilih untuk bekerjasama secara multilateral dan kecendrungan hubungan mereka ke arah pemerintahan global lebih tergantung kepada dinamika politik domestik daripada interaksi antar negara, IGO, dan NGO. Kedaulatan suatu negara menjadi kunci variabel pemerintahan global.

Negara-negara menggunakan organisasi internasional dengan cara yang berbeda sebagai bargaining power. Negara-negara juga dapat menggunakan organisasi internasional untuk mendapatkan cap kolektif dari penyetujuan aksi spesifik tertentu, sudut pandang dan prinsip-prinsip, cara untuk membuat peraturan baru, dan menyelesaikan perselisihan. Keberadaan organisasi global dan regional mengizinkan suatu negara untuk mencari forum terbaik untuk mengejar national interest-nya.
Untuk mengkoordinasikan partisipasi dalam berbagai IGO dan memastikan partisipasi yang efektif, banyak pemerintahan telah mengembangkan spesialisasi dalam pengambilan keputusan dan proses implementasi seperti yang telah dilakukan antar komite. Secara internasional pemerintah menyetujui norma dan prinsip-prinsip, baik dalam hak asasi manusia, hukum laut atau dagang, dan memaksa negara untuk men-set kembali kebijakan mereka jika mereka mengharapkan keuntungan dan timbal balik dari negara-negara lain. Banyak cara yang dilakukan NGO dan grup pembela transnasional yang ingin mempengaruhi negara-negara. Banyak dari interaksi tersebut tergantung dari karakteristik kebijakan domestik, seperti budaya politik, norma, dan proses kebijakan, sikap dari kelompok sosial yang berbeda, dan juga opini publik. Negara non-demokratis, contohnya, membatasi kehadiran dan kegiatan dari NGO dalam wilayah mereka dan menentang partisipasi NGO dalam pemerintahan global.
Sebagai contoh, kita melihat peran kunci Amerika Serikat yang bermain sebagai negara dominan pasca perang dunia II, Amerika Serikat memainkan peran penting dalam membentuk struktur sistem internasional, termasuk pendirian dari banyak IGO, seperti United Nations, Institusi Bretton Woods, dan International Atomic Energy Agency (IAEA). Ketentuan dari piagam PBB sebagai contoh konsisten terhadap kepentingan-kepentingan US. Dan sampai 1960, US terhitung aktif dalam mendukung sebagian besar dari kebanyakan issue internasional. Hal ini memungkinkan bagi US untuk menggunakan PBB dan agen-agen spesial PBB sebagai instrumen dari kebijakan nasionalnya dan untuk menciptakan institusi dan peraturan yang cocok dengan kepentingan US. PBB dan NATO juga melayani politik domestik dengan menciptakan jaring dari ikatan internasional dan dukungan domestik. Konstitusi menyebabkan hal ini menjadi lebih sulit dalam administrasi, agar dapat mengembalikan kebijakan isolasionis. Sewell mengidentifikasi periode ini dari pasca perang kedua 1970 sebagai salah satu dari “unilateralisme yang agung”.
BAB III
CRITICAL REVIEW

Dalam bacaan tersebut, dijelaskan berbagai macam peran negara dalam pandangan berbagai teori. Menurut Realis dan Liberalis, negara memang aktor utama dalam berbagai pengambilan keputusan. Neo Liberalis dan Konstruktifis menekankan pentingnya suatu institusi, norma, dan jaringan. Dan bagi Realis dan Neo Realis, hegemoni kekuasaan global dan regional telah menciptakan IGO untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan pengaruh mereka. Dari berbagai pandangan disini kami melihat bahwa walaupun negara adalah aktor tunggal dalam suatu sistem pemerintahan, tetapi peran dari institusi-institusi seperti perusahaan-perusahaan internasional, organisasi internasional (IGO dan NGO), tidak bisa diabaikan begitu saja. Aktor non-negara ini juga memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi kebijakan suatu negara.
Pendapat ini juga sama dalam buku “Pengantar Studi Hubungan Internasional” karangan Robert Jackson & George Sorensen. Peran institusi dalam Neo Liberal adalah bagaimana institusi memberikan insentif (dorongan) kepada negara-negara agar menciptakan interdependensi antar negara. Dengan kondisi interdependensi inilah dapat mengurangi potensi konflik dan tercipta perdamaian. Ini membuktikan bahwa Neo Liberal mengakui bahwa negara merupakan aktor utama, tapi tidak melibatkan peran institusi dibelakangnya.
Bagi Liberal dan Konstruktifis, politik memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan negara, komitmen internasional, dan sikap terhadap pemerintahan global. Politik dianggap penting karena dapat mempengaruhi kebijakan negara lain dalam mencapai national interest masing-masing negara. Kami juga setuju kalau politik merupakan alat menuju kekuasaan.
Dalam kasus diatas juga dijelaskan peran serta NGO yang baik karena memiliki visi dan misi untuk mensejahterakan orang atau kelompok-kelompok yang tidak mendapatkan keadilan. Seperti dalam kasus hak asasi manusia dan status wanita di China, dan kasus hak wanita untuk memperoleh tanda pengenal di Arab Saudi. Mereka akhirnya mendapatkan keadilan berkat peran NGO. Memang NGO memiliki banyak kelebihan, tapi belakangan semakin terlihat bahwa ada
NGO yang tidak transparan dan melakukan pekerjaannya didasari oleh kepentingan orang-orang atau kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri. Mereka lah yang membiayai dana operasional dari NGO tersebut sehingga kebijakan yang diambil lebih menguntungkan mereka yang berkepentingan.
Mengenai masalah Amerika, kami menganalisa bahwa sebagai negara super power dan salah satu anggota dari lima Dewan Keamanan PBB, Amerika memanfaatkannya dengan menggunakan hak veto yang terkadang merugikan negara lain, seperti serangan Amerika ke Iraq. Tapi Amerika juga tidak mau kehilangan dukungan didalam sistem internasional. Maka Amerika tercatat aktif dalam mengikuti isu internasional, agar menarik simpati dari banyak negara. Ini adalah salah satu bukti bahwa power menjadi hal yang sangat dominan disini,
Kami setuju dengan analisa peran dari negara kecil dalam jaringannya di organisasi internasional, kita dapat menyelidiki manfaat penggunaan diplomasi internasional yang dapat mengubah persamaan kekuatan, mengarah kehasil yang melayani kepentingan orang, kelompok, dan negara yang tidak memungkinkan konsiderasi kekuasaan. Negara kecil juga dapat melakukan bergain dengan negara yang memiliki major power untuk dukungan dalam isu-isu kunci sebagai bentuk pengembalian dari konsensi ekonomi.
Sedangkan bagi negara berkembang, hal yang terpenting dari IGO adalah fungsi dari agen-agen spesial dan programnya. Karena keuntungan langsung dari banyak program bantuan pengembangan, tetapi kompetisi yang berat juga akan terus terjadi, seperti saat akhir perang dingin, kelemahan dalam sumbangan, dan proliferasi dari negara baru di asia tengah serta eropa timur yang berkompetisi untuk mendapatkan sumber daya.
Bagi negara kecil dan berkembang (semua negara juga), partisipasi dalam jaringan organisasi internasional tidak hanya bantuan dalam mendapatkan kebijakan asing secara langsung tetapi juga meningkatkan jumlah kesempatan yang dapat mereka serap. Kesempatan untuk mempekerjakan ahli strategi dalam bantuan koalisi dan forum shopping adalah bagian dari diplomasi multilateral diplomasi dalam arena ini.

gravatar

krisis negara berkembang

BAB I
SUMMARY
Sejak tahun 1980-an lebih dari 40 negara khususnya negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, dan Asia telibat hutang yang berlebihan dan mengakibatkan krisis terjadi di dalam negaranya sendiri. Contohnya adalah negara Meksiko, Brazil, Turki, Argentina, dan Indonesia. Ada banyak alasan mengapa krisis terhadap hutang ini dapat terjadi, seperti alasan untuk pembiayaan kegiatan politik, pembangunan ekonomi, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya, uang yang ditujukan untuk pembangunan tidak digunakan untuk pembangunan yang memiliki investasi tinggi untuk menambah devisa negara. Dan hal inilah yang membuat negara debitur sulit untuk mengembalikan hutang yang sudah dipinjamkan oleh kreditur. Contoh dari kreditor atau lembaga Internasional yang meminjamkan dana terhadap negara-negara yang membutuhkan adalah IMF dan World Bank. Kesulitan dalam pembayaran hutang membuat sejumlah negara sedikit melupakan masalah sosial, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakatnya. Karena negara lebih memfokuskan pada pembayaran hutang negara, yang menyebabkan bertambahnya penderitaan dan kemiskinan warga negara.
Karena adanya negara-negara yang menginginkan revolusi terhadap beban hutang-hutang negara yang mengakibatkan krisis ekonomi didalam negara dan akibat perluasan perdagangan, maka terbentuklah perekonomian global yang terbuka untuk tingkat tertentu dan saling terkait dalam pola ketergantungan ekonomi antara negara satu dengan negara yang lainnya. Yang mencakup global produksi dibeberapa industri, pasar keuangan global sangat meluas dalam perdagangan dunia. Aktor-aktor utama dalam ekonomi global yaitu negara-negara, perusahaan multinasional, dan pasar. Perusahaan multinasional sangat berperan aktif dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dunia dan menjadi bagian terpenting dalam tata kelola ekonomi dunia. Contoh peran konkret dari perusahaan multinasional yaitu, perusahaan multinasional menanamkan modal diseluruh dunia, membuka pasar baru, memperkenalkan teknologi baru, dan dapat menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan adanya ekonomi global ini, maka akan mempererat hubungan antar negara dalam kerjasama dibidang ekonomi internasional.
>>>Perkembangan Organisasi-organisasi Internasional di bidang perekonomian.
1. World Bank (Bank Dunia)
Pada awal pembentukan World Bank, tujuan dari organisasi ini adalah untuk memberikan bantuan dana rekonstruksi eropa pasca perang dunia kedua. Namun seiring berjalannya waktu, kepentingan dan tujuan organisasi ini pun berubah. Pada tahun 1950-an tujuan utama dari World Bank bukan lagi untuk pembiayaan rekonstruksi, namun melainkan untuk peminjaman dana bagi negara-negara dunia. Yang menyumbang dana dalam organisasi internasional ini adalah sumbangan dari negara-negara anggota dan dari pasar keuangan internasional. Namun pada tahun 1970-an, bank merubah orientasinya lagi menjadi bank yang membiayai pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat internasional. Guna memperkecil angka kemiskinan dunia.
2. International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional)
Awal mula pembentukan IMF ini bertujuan untuk meminjamkan negara yang sedang mengalami naik turunnya nilai harga mata uang dalam jangka waktu yang pendek. Yang bertujuan untuk mempertahankan dan menstabilkan nilai tukar mata uang disebuah negara. Meskipun IMF tidak dikhususkan sebagai organisasi yang membantu pertumbuhan ekonomi dunia, namun sejak tahun 1987 eksistensinya dalam pembangunan pertumbuhan ekonomi mulai terlihat. Dengan adanya pemberian fasilitas terhadap pertumbuhan, menstabilkan nilai mata uang yang berguna dalam perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
IMF pun merubah orientasinya menjadi sebuah organisasi yang menyediakan biaya bagi negara-negara yang terlilit hutang begitu besar, dan negara yang sedang mengalami krisis dalam negeri. Hal ini dilakukan bertujuan untuk melindungi negara dari krisis yang melanda agar tidak berkelanjutan dan mengatasi hambatan struktural dalam perekonomian domestik dalam negeri dan kebijakan pemerintah.
Di bawah ini adalah penggunaan dana yang tepat untuk pembangunan perekonomian negara :
a. Merangsang pertumbuhan ekonomi
b. Menghapuskan kemiskinan
c. Menghapuskan kelaparan
d. Mengurangi tingkat kematian
e. Menyehatkan tiap warga negara
f. Mencapai pendidikan dasar universal
3. World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia)
Pada tahun 1995 WTO sebagai organisasi normal menggantikan GATT dalam mengatur hubungan perdagangan antar negara. WTO dalam hal memajukan perekonomian negara anggota yang mana bertugas melakukan pengawasan terhadap praktek perdagangan internasional, dan WTO dapat memberikan tinjauan lebih terhadap negara yang ingin belajar bagaimana untuk menyusun kegiatan perdagangan internasional. WTO juga memiliki hak untuk mengambil keputusan atas suatu masalah yang terjadi dalam perdagangan internasional negara-negara anggotanya. Sebagai contoh ketika suatu barang produksi dilarang untuk masuk ke dalam suatu negara lainnya karena alasan tidak sehat, maka WTO bertugas untuk meninjau langsung dan menguji kelayakan atas produk tersebut. Apabila WTO mengklaim bahwa produk tersebut aman, maka barang tersebut dapat terus dikonsumsi dan di ekspor ke negara lain.
Prinsip-prinsip dalam WTO yaitu :
a. Dukungan dari liberalisasi perdagangan, karena perdagangan adalah mesin bagi pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan.
b. Non-diskriminasi dalam perdagangan.
c. Penggunaan eksklusif tarif sebagai perangkat untuk melindungi pasar dalam negeri.

>>>Globalisasi Ekonomi dan Afrika: Sebuah Problematika kasus
Globalisasi ekonomi adalah fakta kehidupan bagi sebagian besar negara dan masyarakat dunia. Sebagai dampaknya, globalisasi telah menyebabkan pengurangan kemiskinan. Sebagai contoh, tingkat kemiskinan asia menurun dari 54 persen pada tahun 1980 menjadi 5 persen pada tahun 2000. Namun hanya sebagian Negara di dunia ini yang menggunakan manfaat dari globalisasi (tidak merata). Sebagai contoh tidak meratanya globalisasi di dunia, Empat puluh enam persen dari penduduk di Afrika hidup per hari hanya bisa mendapatkan pendapatan kurang dari $ 1 dan hanya 0,1 persen yang memiliki akses ke internet. Pada saat ini, banyak orang yang lebih buruk daripada mereka saat kemerdekaan. Beberapa indikator ekonomi utama menunjukkan bahwa sub-Sahara Afrika telah jatuh ke belakang dikarenakan rasio layanan hutang tertinggi di dunia menurut Bank Dunia.
Komisi ekonomi untuk Afrika menyimpulkan dalam laporan tahun 1999, unsur-unsur kelembagaan dan peningkatan kapasitas telah diabaikan dalam pembangunan Afrika. Laporan bank dunia menunjukkan bahwa 30 persen dari proyek Afrika cenderung memiliki dampak yang berkelanjutan. Kebijakan yang mendukung stabilisasi ekonomi makro memiliki investasi undercut (menjual dibawah harga pasaran). Laporan ini mengakui batas-batas pendekatan pasar-domain yang sempit, serta kebutuhan yang berfokus pada institusi negara dan kapasitas untuk mengurangi kemiskinan.
KTT PBB pada tahun 2000 menawarkan dukungan internasional untuk memperkuat kapasitas pemerintahan Afrika untuk mengatasi kemiskinan dan untuk menanggapi krisis AIDS. Kongres di Amerika Serikat juga menyetujui pengembangan di Afrika yang mengembalikan sistem umum preferensi perdagangan dan program peresmian kembali bantuan perdagangan (US Kongres 2000). Adanya RUU sebuah koalisi multinasional yang berbasis perusahaan-perusahaan AS, melihat RUU ini menandakan positif mendukung pengembangan di Afrika, negara-negara bersatu melihat RUU ini sebagai alat untuk mempromosikan perekonomian di Afrika.


>>>Gerakan Antiglobalisasi
Gerakan antiglobalisasi untuk melawan globalisasi aktifitas ekonomi korporasi dan perdagangan bebas dengan Negara-negara berkembang yang dapat ditimbulkan oleh aktifitas tersebut. Para anggota gerakan antiglobalisasi ini mendukung alternatif-alternatif sosial terhadap ekonomi kapitalis dan berusaha melindungi penduduk dunia dan lingkungan hidup dari apa yang mereka yakini sebagai dampak globalisasi yang merusak. Dukungan untuk LSM hak asasi manusia adalah batu penjuru yang lain dari agenda gerakan antiglobalisasi. Mereka mendukung hak-hak buruh, gerakan untuk pelestarian lingkungan hidup, dll.
Meskipun para pendukung gerakan ini sering bekerja sama-sama, gerakannya adalah heterogen. Gerakan mencakup pemahaman yang berbeda-beda bahkan kadang-kadang saling berlawanan tentang proses globalisasi, dan memadukan visi-visi, strategi, dan taktik alternative. Banyak dari kelompok dan gerakan ini yang dianggap sebagai gerakan antiglobalis, tetapi mempunyai akar dalam berbagai gerakan-gerakan sosial dan politik yang telah ada sebelumnya (kecuali mungkin ATTAC). Gerakan antiglobalisasi seperti yang dikenal sekarang berasal dari bertemunya berbagai pengalaman politik ini ketika para anggotanya mulai melakukan unjuk rasa bersama pada pertemuan-pertemuan internasional seperti pertemuan WTO di Seattle atau pertemuan puncak







BAB II
REVIEW
Konfrensi Moneter dan Keuangan PBB, di Bretton Woods, New Hampshire pada 1944 merupakan tonggak berdirinya lembaga-lembaga internasional. IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) merupakan “anak kandung” dari konfrensi tersebut. Pendirian kedua lembaga tersebut merupakan bagian dari usaha sistematis guna mendanai rekonstruksi kembali Eropa setelah hancur pada Perang Dunia II serta guna menyelamatkan dunia dari depresi ekonomi di kemudian hari dengan menjamin stabilitas ekonomi global. Maklum saja, Eropa pada saat itu masih dihantui trauma akibat depresi hebat (great depression) yang terjadi pada tahun 1930-an.
Dalam konsep aslinya, IMF didasarkan atas pengakuan terhadap kenyataan bahwa pasar seringkali tidak bekerja dengan baik-bahwa pasar dapat menimbulkan tingkat pengangguran yang tinggi dan kemungkinan gagal menyediakan dana yang diperlukan oleh berbagai negara untuk membantu mereka memperbaiki perekonomiannya. IMF didirikan dengan keyakinan bahwa perlu ada tindakan kolektif pada tingkat global agar tercipta stabilitas ekonomi.
Begitupun dengan Bank Dunia-sebelumnya dikenal dengan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development), bekerja berdasarkan konsep untuk merekonstruksi pembangunan dengan memberikan dana proyek guna pembangunan infrastruktur.
Namun, dimulai sejak Amerika Serikat & UK dibawah pimpinan Ronald Reagan serta Margaret Thatcher yang menyuarakan pasar bebas, pada tahun 1980-an, IMF dan Bank Dunia menjadi berubah orientasi. IMF hanya akan memberikan dana hanya bila negara-negara terikat dengan kebijakan-kebijakan seperti mengurangi defisit, meningkatkan pajak atau menaikkan tingkat suku bunga yang mengarah pada kontraksi perekonomian. Pun dengan Bank Dunia, yang tidak lagi hanya memberikan pinjaman untuk mendanai proyek pembangunan namun juga dalam bentuk pinjaman penyesuaian struktural.
Penulis berpendapat, perubahan orientasi konsep oleh kedua lembaga ini yang berbanding lurus dengan penyuaraan pasar bebas menunjukkan bahwa IMF dan Bank Dunia sangat tergantung kepada negara-negara maju. Lebih jauh, kedua lembaga ini telah dijadikan “alat” bagi meluasnya liberalisasi ekonomi. Padahal, Eropa pernah mempunyai pengalaman buruk dengan kegagalan liberalisme pada era 1930-an yang menyebabkan great depression.
Globalisasi juga coba dihadirkan dengan berbagai bentuk kerjasama antar pemerintah dengan membentuk berbagai macam forum dan pertemuan. Beberapa diantaranya adalah :
• Forum negosiasi (WTO)
• Forum konsultasi (G7)
yang seluruhnya bertujuan sama, yakni kesejahteraan ekonomi dan pembangunan manusia. Namun, semua tujuan itu tidaklah cukup hanya dengan membentuk berbagai organisasi dan forum. Harus ada langkah nyata untuk mengejawantahkan seluruh rumusan kesepakatan. Diperlukan konsistensi dan perangkat yang jelas guna menjamin program-program tersebut berjalan. Juga diperlukan kerjasama yang saling menguntungkan antar negara. Distribusi kekayaan haruslah terjadi, jangan sampai hanya berputar di negara-negara maju. Data publikasi bertajuk The World Distribution of Household Wealth yang dirilis oleh Center for Global. International and Regional Studies, University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat pada 28 November 2007 menunjukkan bahwa 2% populasi terkaya di dunia menguasai lebih daripada 50% kekayaan global, sementara 1% superkaya memiliki sekitar 40% aset global. Sebaliknya, 50% populasi termiskin di dunia hanya menikmati 1% dari kekayaan global. Artinya, kekayaan 1% miliuner di dunia ini lebih banyak 2.000 kali daripada kekayaan 50% persen populasi termiskin di dunia. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi maldistribusi kekayaan, sehingga gap antara kaya dan miskin sangatlah jauh.
Untuk menciptakan pembangunan dan kesejahteraan bagi manusia, PBB juga turut serta untuk mengakselerasi tercapainya tujuan tersebut. Melalui UNDP yang mempunyai program MDGs (Millenium Development Goals), diharapkan dapat berperan lebih dominan agar harapan itu dapat tercapai.
BAB III
CRITICAL REVIEW
Dibentuknya berbagai macam institusi dan forum, baik yang bersifat formal maupun informal dalam beberapa hal memang membawa kebaikan, namun dalam banyak hal malah justru menimbulkan persoalan. Utamanya bagi negara berkembang dan negara-negara dunia ketiga. Konsep “globalisasi” dan “liberalisasi” yang coba disebarluaskan Barat, ternyata tidak seluruhnya baik.
Lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia (World Bank) yang seyogyanya merupakan tonggak guna mewujudkan kesejahteraan ekonomi (economy welfare) yang lebih baik bagi masyarakat dunia, justru berbalik arah menjadi “drakula” yang siap menghisap kekayaan di manapun, khususnya bagi negara berkembang dan dunia ketiga. Jeratan hutang dialami negara-negara debitor akibat pinjaman dari IMF tersebut, menyebabkan mereka harus menguras APBN-nya guna melunasi hutang dan bunga hutang yang menumpuk. Akibatnya, negara-negara tersebut tidak mempunyai kas lagi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, seperti pendidikan dan kesehatan. . Parahnya lagi, menurut Joseph E. Stiglitz alih-alih mengikuti konsep globalisasi, IMF “memaksa” negara-negara debitor tersebut membuka pasarnya untuk melunasi hutang Bank Dunia pun mempunyai “dosa” yang hampir sejenis. The United Nation Development Programs melaporkan sebanyak 20% kaum kaya dari seluruh penduduk dunia menikmati 86% sumber daya dunia, sedangkan sebanyak 80% kaum miskin dari seluruh penduduk dunia hanya menikmati 14% saja. Ini menunjukkan program pembangunan yang dilakukan Bank Dunia tidak mencapai sasaran.
Dalam bidang perdagangan terdapat sebuah rezim internasional, yakni WTO. WTO berfungsi sebagai suatu lembaga negosiasi untuk merundingkan perdagangan antar negara. Forum dan negosiasi tersebut dilakukan oleh pejabat menteri dari tiap-tiap negara anggota. Seringkali negosiasi yang dilakukan antar anggota WTO hanyalah pemaksaan kepentingan negara kuat terhadap negara berkembang. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Jepang meminta negara berkembang untuk membuka pasar dengan tujuan agar barang produksi mereka dapat masuk ke negara-negara berkembang dan bersaing secara kompetitif. Di sisi lain, negara-negara maju tersebut justru tetap memproteksi hasil produksi mereka agar tetap aman dari serbuan barang import. Sebagai contoh, data Bank Dunia menyebutkan, subsidi pertanian yang diberikan mencapai US$368 miliar per tahun pada periode 2005 hingga 2007. Sebanyak tiga negara adidaya anggota WTO memberikan subsidi, di antaranya Uni Eropa (US$151 miliar per tahun), Amerika Serikat (US$102 miliar per tahun), dan Jepang (US$49 miliar per tahun).
Multinational Company (MNC) juga turut ambil bagian dari upaya liberalisasi ekonomi. Secara sepintas, nampaknya tidak ada masalah dengan MNC yang berinvestasi di negara-negara berkembang. Mereka justru membawa kebaikan dengan membuka lapangan kerja dan meningkatkan GDP suatu negara. Namun, kehadiran MNC di suatu negara juga bukan tanpa persoalan. MNC mungkin membuka kesempatan kerja, namun secara tidak sadar telah terjadi eksploitasi kepada pekerja yang sebagian besar berasal dari negara setempat dengan membayar rendah upah mereka. Selain itu, MNC tersebut melakukan praktek suap dan korupsi kepada pemerintah setempat agar kepentingannya terpenuhi. Dalam salinan keputusan pengadilan tata usaha Inggris Southwark Crown 18 Maret 2010 Innospec mengaku telah melakukan suap kepada pejabat pemerintah dan Pertamina untuk memuluskan penjualan timbalnya. Akibatnya, Innospec dikenakan denda US$ 12,7 juta. Belum lagi masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat limbah yang dihasilkan. Salah satu contoh nyata yakni di Papua, pembuangan limbah yang dilakukan oleh PT.Freeport menyebabkan kerusakan bentang alam seluas 166 km persegi di DAS sungai Ajkwa yang meliputi pengunungan Grasberg dan Ersberg. berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa adanya lembaga-lembaga ekonomi internasional, seperti IMF,World Bank,WTO maupun MNC yang ada hanyalah kepanjangan tangan dari kepentingan negara-negara maju untuk mempertahankan hegemoni mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Stiglitz, Joseph E., Globalisasi Dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional. Jakarta: Ina Publikatama, 2003.
United Nation Development Programs, World development report.New York: Oxford University Press, 1998.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/09/06/inilah-freeport-dimata-para-hantu-laut/
http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/03/29/brk,20100329-236416,id.html
http://bisnis.vivanews.com/news/read/63958-subsidi_pertanian_rugikan_negara_berkembang
http://bataviase.co.id/node/491031

gravatar

Dilema Pemerintahan Global Pada Abad 21

HIV/AIDS: Ancaman Baru Keamanan Manusia

Sejak pertama kali ditemukan, HIV/AIDS telah menelan korban sekitar 22 juta orang di meninggal seluruh dunia dan sekarang (2003) telah ada lebih dari 42 juta orang yang terinfeksi.
Sejauh ini, kawasan yang mengalami kondisi terparah dalam penyebaran penyakit ini adalah Afrika dengan 29,4 juta orang dimana 70% orang dewasa dan 80% anak-anak terinfeksi. Selain itu, tingkat penyebaran infeksi disana masih tergolong pesat.

Di Asia, tingkat penderita HIV/AIDS meningkat dengan cepat di India dan China, juga di Negara-negara pecahan Uni Soviet. Dengan tingkat penyebaran itu, pada 2005, 100 juta orang terinfeksi HIV/AIDS.
Hanya beberapa Negara yang berhasil menurunkan tingkat penyebaran HIV/AIDS di negaranya seperti Brazil, Uganda, Thailand dan Senegal.

Apa yang membuat HIV/AIDS sangat berbahaya bagi tatanan dunia?

Penyakit ini tidak ada obatnya
Menular
Mempunyai dampak besar dalam sosial dan ekonomi
Penyebaran HIV/AIDS (secara mengejutkan) lebih banyak terjadi pada angkatan militer

Reaksi Dunia Internasional

Pada 1996 dibentuk UNAIDS yang dipelopori oleh WHO. UNAIDS didukung oleh berbagai organisasi yaitu UNICEF, UNDP, UNFPA, UNESCO, WHO dan Bank Dunia.
NGO seperti perusahaan farmasi, dan bantuan-bantuan oleh Great Britains and Gates Foundation. berperan besar dalam upaya penurunan infeksi HIV/AIDS dengan memberikan laporan penelitian, sosialisasi dan terjun langsung ke negara tertentu untuk berkonsultasi dengan pemimpin negara.

PBB menggelar konferensi global mengenai HIV/AIDS setiap dua tahun sekali untuk meningkatkan kesadaran dan membangun komitmen kepada negara-negara di dunia bahwa penyakit ini merupakan ancaman serius terhadap keamanan internasional

Internet

Pertumbuhan dan perkembangan penggunaan secara pesat telah berlangsung selama 30 tahun terakhir. Diawali dengan Departemen Pertahanan AS pada 1969, yang bertujuan menjamin pertukaran informasi pengetahuan antar institusi di AS.
Perkembangan selanjutnya (1990an), penggunaan internet meluas secara pesat. Tidak hanya di AS namun keseluruh dunia, sehingga menyebabkan terjadinya revolusi dalam informasi dan komunikasi, termasuk interaksi ekonomi, sosial serta politik. Setidak-tidaknya sudah lebih dari 200 juta pengguna aktif internet yang ada didunia.
Pemanfaatan internet digunakan oleh semua pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah bahkan banyak juga yang digunakan untuk aktifitas kejahatan.

Terdapat beberapa isu menyangkut pengaturan jaringan internet dunia; siapa yang akan mengatur dan mendirikan insfrastruktur jaringan internet, bentuk peraturan apa yang digunakan agar dapat merangkul semua pihak yang terlibat dalam penggunaan internet serta siapa yang berhak mengelola konten-konten internet dan pengembangan informasi serta komunikasi
Pertanyaan ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pemerintah, korporasi, serta individu.

Perkembangan Regulasi Penggunaan Internet

Pada awalnya telah terdapat peraturan yang mengatur penggunaan internet. Namun peraturan ini hanya bersifat lokal. Dengan perkembangan internet di dunia, maka di adakan usaha untuk mengatur penggunaannya, antara lain ialah dengan domain names dan IP address, ditambah dengan adanya perjanjian internasional.
Dengan adanya usaha ini, maka akan meminimalisir kebocoran informasi antar negara/pengguna/institusi.
Namun, perkembangan yang pesat juga dibarengi dengan pertumbuhan tindak kejahatan teknologi yang menyebabkan kerugian materi bagi banyak pihak, seperti pembajakan, terorisme, dan money laundry.

Dengan banyaknya tindak kejahatan, maka negara menjadi sebuah institusi yang pengatur perkembangan internet, baik pengaturan konten, transaksi elektronik, dll. Sehingga berbagai bentuk tindakan kriminal yang akan merugikan negara dan masyarakat bisa diminimalisir.

Permasalahan yang muncul akibat perkembangan internet

Semakin besarnya Gap antara negara maju dan negara berkembang. Ini terjadi dikarenakan masih belum meratanya jaringan internet didunia. Sehingga negara-negara berkembang belum secara maksimal terjangkau oleh jaringan internet. Padahal dengan internet, pertukaran informasi sangat diperlukan, baik untuk kegiatan ekonomi, social bahkan politik.

Global Governance

Global governance adalah sebuah pemerintahan dimana negara-negara serta aktor-aktor lain non-negara seperti NGO, bersinergi dalam menangani isu-isu internasional seperti human security.
Dalam global governance terdapat tiga isu yang menjadi pokok utamanya, yaitu legitimasi, akuntabilitas, dan keefektifitasan

Apa yang Membuat Pemerintahan Global Berbeda?

Pertama, masalah kebijakan memotong beberapa wilayah isu-isu yang berbeda dan karenanya tidak bisa dikategorikan dengan rapi sebagai masalah ekonomi, politik atau sosial harus ditangani oleh lembaga-lembaga internasional atau nasional yang tepat.
Kedua Negara dan institusi antar pemerintahan seperti IGO bukanlah merupakan satu-satunya aktor penting dalam penyelesaian masalah internasional.

Ketiga, tidak ada model tunggal dari sebuah pemerintahan global untuk menuntaskan seluruh isu dan masalah kebijakan seperti tidak ada struktur tunggal dari pemerintahan global tetapi ada banyak potongan yang belum disatukan untuk melengkapi sebuah puzzle.

Legitimasi Global Governence?

Global governance di pertanyakan legitimasinya karena di indikasikan institusi-institusi internasional seperti PBB, IMF, organisasi lingkungan hidup, atau Pengawas Hak Asasi Manusia diatur oleh negara yang mendanainya.
Ketimpangan kekuatan, pengetahuan, dan kemakmuran diantara negara berimplikasi terhadap keadilan dalam komunitas internasional sehingga keabsahan institusi atau global governance patut dipertanyakan.

Tantangan dari sebuah tanggung jawab

Bentuk tanggung jawab dari global governance adalah dengan meningkatkan transparansi dalam tiap pengambilan kebijakan dalam institusi seperti dalam WTO dan IMF.
Akuntabilitas Negara dan transparansi telah meningkat dengan signifikan melalui tuntutan untuk melaporkan status HAM atau penerapan aturan perdagangan dan razia senjata, serta kesigapan NGO dalam mengawasinya.
Sementara IGO harus memberikan informasi kepada anggotanya mengenai segala aktivitas dan keputusannya, serta sebab-sebab diambilnya keputusan tersebut

Efektivitas Global Governance?

Pemerintah Global yang baik perlu menjadi efektif dalam mengatasi permasalahan global serta dalam menangani kegelisahan masyarakat global dan ketidaksetaraan manusia.
Harus ada jembatan antara mekanisme yang dikembangkan dengan implementasi operasional dan institusi – institusi khusus harus bisa melaksanakan peraturan yang telah disepakati.
Cara yang bisa ditempuh antara lain dengan melakukan reformasi dalam institusi pemerintahan global seperti Reformasi PBB yang telah mengurangi jumlah pekerja operasionalnya agar kinerjanya lebih efisien dan dengan membuat departemen urusan SDM untuk meningkatkan kinerja ditiap institusi pemerintahan global.

Kesimpulan

Untuk melihat dengan adil, pemerintahan global tidak hanya perlu untuk menjadi efektif dalam menangani permasalahan, tetapi juga untuk mengurangi ketidak setaraan, menjadi bertanggung jawab kepada masyarakat, menjaga yang lemah, dan mengusahakan terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan kemanusiaan, menghasilkan sesuatu yang disebut degan “Global New Deal”. Tantangan legitimasi, akuntabilitas dan efektivitas dengan akibat wajarnya meminta kesetaraan, kelayakan dan keadilan membutuhkan perjuangan yang berkelanjutan dari waktu ke waktu.

Sesi Tanya Jawab 

Dyah: Fakta HIV/AIDS di Indonesia seperti apa? Urgensi pengadaan Obat?
Dewi: Kenapa penyebaran AIDS lebih banyak di negara2 berkembang? Kinerja UNAIDS?
Dafi: Opini mengenai efek positif negatif globalisasi AIDS? Kaitannya dengan biopolitik dan rasisme?
Indra: Apakah pemboikotan internet bertentangan dgn tujuan global governance?


Riski: Apakah agenda yang dibuat oleh OI tentang AIDS sudah terealisasi dengan baik? Bagaimana menanggulangi AIDS?
Marina: Bagaimana peran MNC dalam mengatasi AIDS? Adakah global governance untuk masalah cyber crime?
Fadhli: Hacker berhasil mengambil data tentang Irak dan Afghanistan dari pentagon, apakah hal tsb mengancam national security AS?



Hilmi: Bagaimana asas keadilan dan kebertanggung jawaban PBB terhadap kasus AIDS khusunya di Indonesia?
Fajri: Apakah kondomisasi efektif untuk menangani AIDS? Kenapa AIDS lebih fokus pada penanggulangan melainkan pemcegahan terhadap akar masalahnya?

gravatar

FENOMENA WAJIB MILITER SEBAGAI BENTUK PERAN SERTA RAKYAT DALAM PERTAHANAN NEGARA

A. Wajib Militer dan Kaitannya dengan Pertahanan Negara
Secara konsepsi, fenomena wajib militer didasari konsep demokrasi yang mensyaratkan partisipasi aktif warga negara tanpa diskriminasi terhadap jenis kelamin, suku, dan ras, serta persamaan hak untuk membela negara. Di beberapa negara demokrasi, wajib militer juga memiliki payung hukum sebagai sumber daya pertahanan negara dalam menghadapi ancaman dan situasi perang.
Hampir semua doktrin pertahanan negara mencantumkan tanggung jawab setiap warga negara, secara politis ataupun moral, untuk berkontribusi mempertahankan eksistensi negara terhadap ancaman (invasi) dari luar. Wajib militer dalam pengertian sederhana dapat dipandang sebagai pelibatan warga negara sipil ke dalam organisasi kemiliteran atas dasar menjalankan tugas-tugas kenegaraan dalam bentuk mobilisasi. Dalam perspektif keamanan tradisonal, yang menggunakan konsep sistem pertahanan rakyat semesta (Total Defence System), wajib militer merupakan prasyarat tak terhindarkan. Asumsi ini dengan alasan bahwa pertahanan semesta memfungsikan semua komponen bangsa sebagai alat pertahanan.
Wajib militer juga dikenal dengan istilah compulsory military service. Istilah ini dipakai di Singapura, Iran, dan Amerika Serikat. Dalam mengelola cadangan strategis, Indonesia tertinggal dari dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Singapura sudah menerapkan wajib militer sejak tahun 1976, sementara Malaysia mulai menerapkan wajib militer pada 2002. Di Iran, wajib militer juga digunakan sebagai pemenuhan hak ekonomi warga negara dengan mewajibkan kerja sosial bagi warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang setingkat SMU dan perguruan tinggi. Sementara Korea Selatan menetapkan wajib militer sebagai prasyarat bagi para pencari kerja.
Pada Perang Dunia II, Amerika Serikat mempromosikan concription untuk membentuk citizen soldier yang membebaskan Eropa dari ancaman “setan fasisme”. Concription dibentuk tidak hanya semata-mata atas dasar instruksi negara, tetapi juga atas dasar kesukarelaan dari warga negara. Citizen soldier melibatkan warga negara yang memiliki pekerjaan tetap, cukup umur, juga pada warga negara yang akan berpergian keluar negeri.
Wajib militer juga diberlakukan guna menghadapi situasi perang atau ancaman terhadap eksistensi negara dari luar negeri. Sebagai contoh, status adanya ancaman perang diberlakukan di Iran karena adanya potensi ancaman terhadap kondisi keamanan negara dari negara tetangga. Status yang sama juga diberlakukan di negara-negara seperti Korea Selatan dan Israel. Penerapan wajib militer bagi negara dalam ancaman perang dan status perang dilakukan berdasarkan kebutuhan (temporary). Sementara wajib militer yag bersifat permanen diterapkan oleh negara-negara dengan jumlah penduduk yang terbatas, seperti Singapura dan Swiss misalnya. Keterbatasan jumlah militer aktif menjadi alasan utama untuk membekali semua warga negara memiliki kemampuan pertahanan negara. Wajib militer di negara-negara ini memiliki payung hukum legal dan ketentuan khusus seperti usia, pekerjaan, prosedur perekrutan, dan masa dinas.

Argumentasi wajib militer lainnya adalah pembentukan semangat bela negara (patriotisme) di kalangan generasi muda, serta sebagai komponen cadangan pertahanan negara. Merujuk konsep modern defence (profesional military) jumlah tentara haruslah terbatas, keahlian tinggi (expert), serta persenjataan high tech. Tentara profesional berfungsi sebagai special force dan wajib militer menjadi tenaga volunteer paruh waktu untuk misi kemanusiaan atau dimobilisasi di masa perang. Konsep bela negara tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

• Pembelaan Negara sebagai Hak dan Kewajiban Warga Negara
Negara kesatuan RI dilandasi semangat merdeka dan berdaulat para pendiri Negara, yang kemudian secara formil di rumuskan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Secara aktual, bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada negara kesatuan RI yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dalam menjamiin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Kesadaran bela negara di bangun sebagai bagian dari penyelerenggaraan pertahanan negara, yang dipersiapkan pemerintah secara dini dalam sistem pertahanan negara bersifat semesta.
Upaya bela negara selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang di laksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, rela berkorban demi pengabdian kepada negara dan bangsa. Keikutsertaan warga negara dalam pembelaan negara sebagai pelaksanaan hak dan kewajibannya itu di selenggarakan di antaranya pendidikan kewarganegaraan dan pengabdian sesuai profesi bagi seluruh warga negara.

• Pembinaan kesadaran Bela Negara dalam Pembinaan potensi pertahanan
Sistem pertahanan Negara bersifat semesta, menempatkan lembaga di luar bidang pertahanan sebagai unsur-unsur lain kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman non militer.

• Faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan pembinaan kesadaran bela Negara
A. Faktor Eksternal
1) Globalisasi
Negara-negara besar dan maju dengan segala kekuatannya melakukan berbagai tekanan terhadap negara lain terutama Negara berkembang, yang dinilai kurang menjunjung tinggi HAM, demokratisasi, dan lingkungan hidup.
2) Demokratisasi, HAM, dan Lingkungan Hidup
Mengemukanya tuntutan demokrasi mengakibatkan paham kenegaraan yang cenderung merubah orientasi pemerintahan untuk selalu dapat mengakomodasikan aspirasi rakyat dalam setiap menetapkan kebijakan, sehingga dalam penyelengaraan demokrasi terkadang kurang memperhatikan faktor keamanan.


3) Perkembangan Lingkungan Nasional
Gerakan separatis telah bersikap lebih berani dengan muncul secara terbuka di beberapa tempat, bahkan muncul dengan kekuatan bersenjata serta kekuatan yang terorganisir. Konflik horizontal sering terjadi dengan menggunakan senjata tanpa mempertimbangkan akibat terhadap kepentingan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

B. Faktor Internal
1. Penyelenggara Negara
Belum adanya keterpaduan program antar departemen khususnya tentang program peningkatan kesadaaran bela negara. Pembangunan mental kebangsaan berupa kesadaran bela negara tidak di jalankan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
2. Masyarakat
Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi bahwa bela Negara merupakan kegiatan kemiliteran yang menjadi tugas TNI. Padahal bela Negara dapat mewujud pada setiap kegiatan sesuai bidang dan profesi masing-masing.

Di Indonesia, wajib militer wacana perihal wajib militer sendiri bermula dari pembentukan Sekolah Perwira Wajib Militer ABRI atau disingkat menjadi SEPAWAMIL ABRI, merupakan sekolah tempat mendidik perwira-perwira wajib militer bagi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, da Kepolisian Negara RI.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 30 ayat 1 yang berisi ketentuan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara. Kemudian keteapan MPR No. : XXIV/MPRS/1966 pasal 3 ayat 6 menetapkan, bahwa seluruh rakyat atas dasar kewajiban dan kehormatan sesuai dengan kemampuan individualnya, harus diikut sertakan dalam segala usaha pertahanan keamanan disamping dan bersama ABRI. Lebih jauh lagi, UU No. 66 tahun 1958 tentang Wajib Militer pasal 2 ayat 1 dan Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 40 tahun 1960, menetapkan bahwa setiap warga negara menjadi pewajib militer mulai tahun takwin ia mencapai 18 tahun sampai tahun takwin ia mencapai umur 50 tahun.
Namun, hal ini berganti seiring pembahasan RUU Komponen Cadangan Strategis. Usulan tersebut berpijak pada Undang-Undang No.3/2002 tentang Pertahanan Nasional bahwa dalam menghadapi ancaman TNI ditempatkan sebagai komponen utama, selanjutnya ada komponen cadangan dan pendukung.
Kini, RUU Komponen Cadangan adalah membentuk kekuatan nyata yang dapat dimobilisasi untuk menghadapi ancaman militer dalam perlawanan bersenjata secara fisik. Komponen cadangan terdiri atas warga negara, sumber daya alam maupun buatan, serta sarana prasarana nasional yang harus dibentuk dan disiapkan sejak dini, agar dapat dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.


Komponen Cadangan: terdiri dari masyarakat yang telah mengikuti wajib militer.

Komponen Pendukung:
1. Para Militer
a. Polisi
b. Satpol PP
c. Linmas
d. Menwa
e. Organisasi Kepemudaan


2. TA/ Profesi
3. Industri
4. SDA/B dan SAR/ Press
5. Semua Warga Negara


Samuel P. Huntington dalam tulisannya The Soldier and the State, mendefenisikan otoritas politik sipil atas militer sebagai pemberian kekuasaan secukupnya pada profesional militer yang kompeten melalui kebijakan yang ditentukan penguasa sipil. Di sinilah program wajib militer menjadi sarana yang efektif mendorong TNI lebih profesional karena masyarakat sipil memiliki akses terhadap sektor keamanan. Dalam sistem pemerintahan demokratis, otoritas politik sipil yang mengatur dan memutuskan persoalan seperti wajib militer, anggaran militer, sistem persenjataan, pengerahan pasukan, dan aset militer.

B. Negara – Negara yang Memberlakukan Kebijakan Wajib Militer

• Belarus
• Mesir
• Norwegia
• Polandia
• Romania
• Rusia
• Siprus
• Singapura
• Suriname
• Swedia
• Swiss
• Taiwan
• Turki

• Venezuela
• Yunani
• Malaysia
• Brazil
• Bulgaria
• RRC
• Eritrea
• Estonia
• Finlandia
• Israel
• Korea Selatan
• Kroasia






BAB III
KESIMPULAN
ANALISA WAJIB MILITER SEBAGAI BENTUK PERAN SERTA RAKYAT
DALAM PERTAHANAN NEGARA; DAHULU, KINI, DAN NANTI

Menurut kami, fenomena wajib militer sebagai bentuk peran serta rakyat dalam pertahanan negara, telah mengalami sejumlah pergeseran, dari yang dahulunya dilakukan sebagai perwujudan nasionalisme yang mendalam dan cenderung sukarela, kini justru tak sedikit yang menganggapnya sebagai beban. Seperti yang terjadi di Korea, dimana para pemudanya mulai merasa terbebani oleh kewajiban wajib militer di negaranya.
Di sisi lain, konsep wajib militer sebagai bentuk peran rakyat dalam pertahanan negara dianggap dapat menghambat perekonomian di suatu negara. Dimana peserta wajib militer yang tak lain adalah orang-orang yang berada dalam usia potensial, justru ditarik untuk mengikuti kewajiban ini dan meninggalkan sektor perekonomian, yang terdiri dari perusahaan yang sangat bertumpu pada angkatan muda itu.
Disamping itu, dalam konstitusi negara, UUD 1945 pasal 30 ayat 2, ditegaskan bahwa :“Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI, dan Kepolisian Negara RI, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Oleh karena itu, faktor rakyat dalam pertahanan negara bukan hanya sekedar difokuskan pada kebijakan wajib militer bagi warganya, namun lebih ditekankan pada optimalisasi peran rakyat dalam berbagai aspek seperti ekonomi, sosial politik dan lain-lain, yang juga tak kalah pentingnya dalam menjaga stabilitas pertahanan negara. Dan lebih mempfokuskan keterlibatan rakyat dalam faktor militer berdasarkan konsep sukarela, seperti kehadiran aparat penegak hukum negara layaknya TNI, dan Kepolisian Negara RI, sebagai kekuatan utama dalam pertahanan negara Indonesia.

Pengikut