gravatar

konstruktivisme

Konstruktivisme pada dasarnya mengasumsikan bahwa politik internasional adalah hasil dari suatu “konstruksi sosial”, yakni proses dialektika antara “struktur” dan “agen”, di mana lingkungan sosial-politik dan manusia saling berinteraksi untuk menghasilkan perubahan-perubahan sosial-politik. Dalam ilmu sosial, konstruktivisme diinspirasi oleh berbagai teori lainnya seperti critical theory ala Habermas, posmodernisme, feminisme, institusionalisme, interaksionisme simbolik ala Garfinkel, dan teori strukturasi ala Giddens. Akhir-akhir ini para pakar HI makin memperhitungkan eksistensi teori ini. Ada sekurang-kurangnya dua pemikiran dalam teori konstruktivis yang relevan bagi studi HI. Pertama, keyakinan bahwa struktur-struktur yang mempersatukan umat manusia lebih ditentukan oleh “shared ideas” (gagasan-gagasan yang diyakini bersama) daripada kekuatan material. Keyakinan semacam ini mewakili perspektif “idealis” yang pernah mendominasi disiplin HI (terutama sebelum Perang Dunia ke-II) yang sangat memberi perhatian pada kekuatan ide-ide manusia dalam mmpengaruhi proses politik. Kedua, keyakinan bahwa identitas dan kepentingan actor-aktor tertentu dibentuk oleh shared ideas tersebut di atas, dan bukannya dibentuk oleh peristiwa alam semata. Artinya, tindakan actor yang dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa politik tertentu bukan semata-mata karena maksud, intense, dan motivasi dari individu yang bersangkutan, tetapi lebih merupakan hasil proses interaksi antara individu tersebut dengan lingkungan di sekitarnya (struktur sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya). Dengan demikian, perspektif ini mewakili aliran strukturalisme di dalam teori konstruktivis.

Tulisan ini menghadirkan konstruktivisme sebagai bahasan terutama karena relevansinya dengan transformasi aktor-aktor di dalam studi HI dari yang menekankan pada sistem Negara(pilar 1), menjadi yang menekankan pada kodifikasi moralitas dan aturan internasional(pilar 2), dan kemudian yang menekankan pada gerakan social local maupun global(pilar 3).


Ketika konstruktivisme melepaskan HI dari belenggu dominasi determinisme agency ala Realisme tradisional, maka peluang untuk semakin memperluas lingkup dan unit analisis studi HI pun semakin besar. Dalam konteks inilah kita dapat memahami transformasi dari pilar I, menjadi pilar II dan III. Sebagaimana telah disebutkan, transformasi ini membuka ruang-ruang baru bagi studi HI, termasuk actor-aktor baru yang dalam HI disebut berada pada jalur Track Two (jalur diplomasi non-negara), sebagaimana dikatakan Mely c. Anthony:

‘Constructivism, especially, allows us to identify non-state actors as the “agents” who bring with them “ideas” that are critical in shaping state policies. Constructivism also alerts us to perceptibe changes in attitudes and approaches within and among states that may be taking place as ideas find their way into concrete policies. These ideas add to the dynamics as the state actors, and to a certain extent, non-state actors engage in the process that bring about intersubjective understanding of how inter-state relations should be.’

Dengan demikian, konstruktivisme telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan studi HI, terutama dari sisi pembukaan kemungkinan perluasan bahasan tentang actor-aktor studi HI yang tidak lagi harus didominasi oleh lembaga-lembaga internasional dan Negara. Maka, mereka yang meneliti tentang HI mempunyai lebih banyak plilihan untuk membahas tema-tema baru yang dapat masuk ke dalam lingkup studi HI.

1.1 Pengertian Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Tradisi ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya Perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional ¾ realisme dan liberalisme ¾ untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis.

Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Berbeda dengan neorealis dan marxis, misalnya, yang menekankan pada struktur material hanya dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Disamping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik.

Kedua, kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Berbeda para teoretisi neorealis, neoliberal ataupun marxist, yang hanya memberi perhatian pada aspek-aspek strategis dalam arti bagaimana akator-aktor politik bertindak mencapai kepentingan mereka, teoretisi konstruktivis lebih menekankan pada sumber-sumber munculnya kepentingan, yakni bagaimana aktor-aktor politik mengembangkan kepentingan-kepentingan mereka. Dalam artian ini, terkait dengan proposisi ontologis yang pertama, Alexander Wendt secara jelas mengatakan bahwa, ‘Identities are the basis of interests’ ((1992).

Ketiga struktur dan agen saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan serta, pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya, meskipun sangat menentukan identitas (dan oleh karenanya juga kepentingan) aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa adanya tindakan-tindakan aktor-aktor politik.




1.2 Tokoh Konstruktivisme

Tokoh pemikiran konstruktif klasik berasal dari pemikir sosial seperti Hegel, Kant, dan Grotius, yang kental dengan paham idealisme. Sedangkan pasca Perang Dingin, mulai bermunculan para kontruktivis yang cenderung berpikir tentang politik internasional, yakni Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull. Tokoh konstruktivisme lain yang tak kalah hebatnya adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), dan Alexander Wendt (1992).


1.3 Buku Mengenai Konstruktivisme

Social Theory of International Politics 1999 oleh Alexander Wendt .

1.4 Kritik Tentang Konstruktivisme Terhadap Neoliberal dan Neorealis

Konstruktivisme lahir dari sebuah kritik secara terbuka terhadap pendekatan Neorealisme dan Neoliberalisme. Manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Dalam melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan atau disodorkan oleh salah satu pihak, melainkan kesepakatan untuk berinteraksi itu perlu diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak. Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.

1.5 Asumsi Dasar Konstruktivis

1.5.1 Pandangan Mereka Tentang Negara

Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional.

Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap temannya.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.

1.5.2 Anarkhi Dalam Sistem Internasional

Pandangan konstruktivis terhadap realitas hubungan internasional pada dasarnya muncul untuk membantah pandangangan neorealis. Neorealis selalu memandang realitas hubungan internasional sebagai sesuatu yang anarkis. Kondisi tersebut sifatnya given (ada dengan sendirinya) baik keberadaannya dan sifatnya yang permissive. Konsep “permissive” merujuk pada kondisi yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Dalam konteks ini perang terjadi karena tidak ada yang mencegah negara-negara untuk berperang. Sifat alamiah manusialah atau keadaan politik domestik negara predator yang menyebabkan terjadinya konflik.

Jadi jika negara A menyerang negara B, kemudian B melakukan tindakan defense, maka itu disebabkan semata-mata hanya oleh faktor sifat alamiah manusia atau politik domestik. Jadi sistem internasional yang anarkis dan negara adalah sesuatu yang terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Semua perilaku negara terjadi di dalam sistem anarkis itu tanpa ada pengaruh apapun dari perilaku negara-negara terhadap sistem tersebut. Neorealis tidak melihat bahwa “practices” negara menentukan karakter anarchy.

Dalam pandangan neorealis anarchy adalah sistem yang sifatnya self- help dan ditentukan oleh persaingan power politics, di mana keduanya adalah pemberian oleh struktur sistem negara.
Konstruktivis tidak dalam posisi untuk menolak asumsi anarkis itu, namun memberikan argumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga memberikan “bentuk” terhadap struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada meanings yang dimiliki. Proses interaksi menyebabkan terjadinya interaksi subyektifitas, dan kesepahaman tentang persepsi atau pengakuan identitas pihak lain— yang selanjutnya disebut others dan diri sendiri (negara) disebut self– memunculkan konsep intersubyektifitas. Intersubyektifitas menyangkut kesepakatan ataupun pengakuan terhadap meanings bersama atau collective meanings. Masing-masing pihak di dalam proses interaksi telah sepakat tentang “sesuatu” yaitu bisa berupa musuh, teman, ancaman, atau kerja sama.

1.5.3 Peranan Ide Dalam Hubungan Internasional

Konstruktivis dibangun dari basis ide, norma, budaya, dan nilai. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealis. Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas kemudian menentukan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pada tahap berikutnya identitas juga akan mempengaruhi bentuk dari lingkungan sosial.

Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.

1.5.4 Pandangan Tentang Perang dan Damai

Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap sebagai perangkat utama dalam hubungan internasional. Definisi perang yang diterima secara luas adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah “kelanjutan politik dengan cara yang lain.” Terdapat peningkatan studi tentang “perang-perang baru” yang melibatkan aktor-aktor selain negara. Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional tercakup dalam disiplin Studi Perang dan Studi Strategis.
Konsep perdamaian dalam konstruktivisme adalah jika dua Negara dalam keadaan sudah tidak berperang lagi dan tidak adanya permusuhan diantara Negara-negara yang ada.

1.5.6 Pandangan Tentang Sistem Internasional

Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Terkait dengan asumsi neorealis yang menyatakan bahwa sistem internasional diwarnai oleh adanya distribution of power dan hal itu mempengaruhi negara-negara dalam melakukan kalkulasi, konstruktivis menegaskan bahwa bagaimana mungkin kalkulasi itu terjadi jika tidak ada “distribution of knowledge” di antara negara-negara di dalam sistem internasional tersebut. Distribusi knowledge tersebut akan menentukan atau membentuk konsepsi negara-negara tentang self dan other. Jika tidak ada distribusi knowledge yang menjadi dasar terbentuknya collective meanings bagaimana bisa suatu negara menganggap suatu negara lain adalah “teman” atau aliansinya sementara negara suatu negara lainnya adalah musuhnya. Jadi intersubjective understandings dan ekspektasilah yang menentukan konsepsi negara tentang self dan other.

1.5.7 Pandangan Tentang Individu

Secara umum konstruktivis mempunyai asumsi dasar bahwa manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Dalam melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan atau disodorkan oleh salah satu pihak, melainkan kesepakatan untuk berinteraksi itu perlu diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak.

Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.

1.5.8 Perbandingan Pandangan Konstruktivis Dengan Neoliberal dan Neorealis

Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide. Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.

Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka.

Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.

Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara, maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).

1.5.9 Varian Konstruktivis

Sekalipun berangkat dari posisi ontologis bersama, konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik. Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt, memiliki kesamaan dengan neorealis dalam artian keduanya memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara sebagai aktor-aktor tunggal dan mengabaikan semua proses yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut. Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang penting dalam varian konstruktivisme ini.

Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negara. Posisi ini ditujuukan dengan jelas oleh Wendt melalui judul dari salah satu karya utamanya, ‘Anarchy is what states make of it’ (1992).

Varian kedua konstruktivisme berusaha melihat hubungan pengaruh norma-norma sosial dan legal di tingkat domestik bagi identitas, dan oleh karenanya, kepentingan-kepentingan negara. Peter Katzenstein merupakan salah figur penting konstruktivisme dari varian ini.

Melalui dua buah karyanya, Cultural Norms and National Security: Police and Military in Changing Japan (1996) dan Tamed Power: Germany in Europa (1999), Katzenstein berusaha menunjukkan bagaimana kedua negara dengan pengalaman yang sama, sebagai negara yang kalah perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju demokrasi, memiliki kebijakan-kebijakan pertahanan internal dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein, perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma sosial dan legal yang berbeda di tingkat nasional kedua negara tersebut. Sekalipun tidak mengabaikan peran peran norma internasional dalam membentuk identitas dan kepentingan negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi yang sulit untuk menjelaskan munculnya kesamaan-kesamaan antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan kepentingan negara-negara yang berbeda.

Varian konstruktivisme ketiga, yakni holistik, berusaha menjembatani kedua posisi dua varian konstruktivisme yang bertolak belakang di atas dengan jalan melihat domestik dan internasional sebagai dua aspek berbeda dari tatanan sosial dan politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika perubahan global ¾ terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat ¾ melalui hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986, 1993).

Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang bersifat global dan besar, varian konstruktivisme cenderung bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai salah satu preposisi ontologis konstruktivisme.

Pengikut