Human Trafficking
2.1 Definisi Human Trafficking
UNODC, United Nations Office on Drugs and Crime (Bagian dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang bertugas menangani Kejahatan dan Obat Bius) mendefinisikan perdagangan
manusia sesuai dengan Lampiran II, Ketentuan Umum, Pasal 3, Ayat (a) [1] dari Protocol to
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons (Protokol untuk Mencegah, Menekan dan
Menghukum Perdagangan Manusia) perdagangan manusia sebagai “rekrutmen, transportasi,
transfer, menadah atau menerima manusia, dengan cara ancaman atau penggunaan kekuatan atau
bentuk-bentuk lain dari kekerasan, dari penculikan, dari penipuan, dari kecurangan, dari
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan pembayaran
atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari orang yang memiliki kontrol terhadap orang
lain, untuk tujuan eksploitasi.”
Eksploitasi manusia antara lain termasuk memaksa manusia menjadi prostitusi atau
bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan, perbudakan atau praktik
yang serupa dengan perbudakan dan kerja paksa. Untuk anak-anak, eksploitasi termasuk juga
terpaksa melakukan pelacuran, menjadi bagian adopsi ilegal, untuk pernikahan bawah umur, atau
3
perekrutan anak sebagai tentara, pengemis, olah raga (seperti joki unta atau pemain sepak bola),
atau menjadi bagian kelompok agama / kepercayaan tertentu.3
2.2 Studi Kasus atau Contoh Human Trafficking di Indonesia
2.2.1 Kasus Pertama
Kasus human trafficking atau perdagangan manusia yang paling umum terjadi di
Indonesia adalah perdagangan wanita dan anak-anak dibawah umur. Konvensi PBB untuk
Melawan Organisasi Kejahatan Lintas Bangsa mendefinisikan perdagangan wanita dan anak-
anak sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan,
penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, atau
member, atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh
persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.4
Sejak masa pendudukan Jepang, wanita dan anak-anak perdagangkan sebagai Pembantu
Rumah Tangga (PRT), pemain sandiwara atau sebagai pelayan restoran. Namun ada juga yang
diperdagangkan untuk menjadi wanita penghibur baik untuk kalangan militer maupun sipil
Jepang.5 Sekarang, wanita dan anak-anak lebih dijadikan komoditi ekspor ke negara-negara
seperti Taiwan dan Hongkong oleh para calo.
Konferensi internasional sudah dilakukan untuk membahas dan menangani kasus
perdagangan yang terjadi sampai sekarang. Seperti International Convention for Suppression of
the White Slave Trade, Traffic in Women and Forced Prostitution, Vienna Declaration and
Program of Action, dll.
2.2.2 Kasus Kedua
Data dari sebuah LSM perlindungan buruh migran, Migrant Care, menyebut tingginya
http://bangaip.org/2009/08/perdagangan-manusia/, diakses tanggal 1 Mei 2011.
Sulistiyowati Irianto, dkk. Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, hal. 12.
5 Ibiid, hal. 22.
3
4
4
jumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia dengan modus pengiriman TKI ke luar negeri.
Menurut direktur eksekutif LSM tersebut, Anies Hidayah, terdapat tak kurang dari tiga juta
warga pekerja Indonesia di luar negeri, yang merupakan korban perdagangan manusia. Korban
perdagangan manusia ini rawan terhadap eksploitasi, baik secara seksual maupun kerja paksa.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya perlindungan yang diberikan pemerintah kepada calon
tenaga kerja Indonesia, yang ingin bekerja ke luar negeri.
Migrasi yang berlangsung di Indonesia itu adalah migrasi yang tidak aman, sehingga
kenapa kemudian 'trafficking' hampir menjadi bagian integral dalam proses migrasi itu sendiri.
Mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan identitas, umur kemudian akses informasi, yang
tidak sampai ke basis calon buruh migran sampai minimnya perlindungan hukum dari negara.
Menurut International Organization for Migration (IOM) perusahaan perekrutan tenaga kerja,
baik legal maupun ilegal, bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen perempuan pekerja
Indonesia yang mengalami kondisi perdagangan manusia di negara tujuan.6
2.2.3 Kasus Ketiga
Pola-pola perdagangan perempuan dikenal sejak zaman perbudakan, kini dijumpai dalam
bentuk prostitusi, tenaga kerja murah, menjadikan perempuan sebagai pengemis, dan pengedar
narkoba dengan menggunakan perempuan sebagai kurir. Para wanita yang dijadikan pengedar
narkoba harus melalui beberapa proses. Pertama, perekrutan wanita dengan hubungan personal,
seperti pacaran, perkawinan, hidup bersama, dan hubungan personal lain antar perempuan dan
pengedar atau pemilik narkoa sesungguhnya (laki-laki asing). Kedua, ketika para wanitaberhasil
melakukan transaksi, mereka diupayakan agar bisa bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain,
bahkan melawati batas negara. Para wanita mau melakukan ini dengan berbagai macam faktor,
ada yang sukarela, karena kekerasan yang akan didapatkan bila menolak, ancaman, dan
pemasungan kebebasan.7
2.3 Solusi Atau Kebijakan Atas Human Trafficking
6http://www.voanews.com/indonesian/news/3-Juta-TKI-Korban-Perdagangan-Manusia--96420934.html,diakses
tanggal 1 Mei 2011.
7 Sulistiyowati Irianto, dkk. Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, hal. 32-33.
5
Pemerintah Indonesia ditempatkan pada Tier 2 dalam
Trafficking in Persons Report tahun 2007 (sebelumnya urutan ke-3). Artinya, pemerintah
Indonesia dianggap tidak peduli dan tidak memiliki undang-undang yang memadai untuk
mengatasi masalah perdagangan manusia. Indonesia mengesahkan undang-undang anti-
perdagangan yang komprehensif pada bulan April 2007. RUU itu mengkriminalisasi ijon,
eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual, dan perdagangan transnasional dan internal. Sanksi
berkisar dari tiga hingga 15 tahun penjara. RUU ini juga berisi ketentuan untuk mengadili badan
usaha dan pejabat pemerintah yang terlibat dalam perdagangan manusia. Sanksi berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Anak anak untuk perdagangan tiga sampai 15 tahun penjara.8
Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur
larangan perdagangan orang. Dalam pasal 297 KUHP misalnya, telah diatur larangan
perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Selain itu, pasal 83 UU Nomor 23
tahun
2002
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk sendiri atau dijual.9
US Department of State's
tentang
Perlindungan
Anak
(UUPA),
juga
menyebutkan
larangan
2.4 Implementasi dan tantangan kebijakan mengenai HT
Implementasi atau pelaksanaan kebijakan mengenai HT belum sepenuhnya dilaksanakan
dengan baik. Pemerintah mengakui kuwalahan dalam menangani kasus ini, karena aktor yang
berperan didalamnya memiliki akses yang sangat luas. Selain itu, kurangnya pengetahuan
masyarakat pelosok yang masih minim sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh para calo,
membuat angka kenaikan human trafficking di Indonesia teruus meningkat setiap tahunnya.
Pemalsuan data-data pribadi juga menyulitkan pemerintah dalam membongkar kasus ini.
Walaupun UU PTPPO Indonesia menorehkan sejarah baru dalam perlindungan HAM, namun,
sejauhmana UU tersebut mampu meredam kasus perdagangan manusia di Indonesia, masih harus
diuji.
2.5 Aplikasi Teori
http://www.humantrafficking.org, diakses tanggal 2 Mei 2011.
http://www.beritaindonesia.co.id/humaniora/kasus-perdagangan-orang-di-indonesia-tertinggi-di-dunia, diakses
tanggal 30 April 2011.
8
9
6
Dalam membahas kasus human trafficking, aplikasi teori yang relevan adalah teori
Neoliberal. Neoliberal dianggap sesuai, karena terdapat institusi yang merupakan konsep dari
Neoliberal dan dalam kasus ini yang dibutuhkan adalah adanya institusi yang dapat memfasilitasi
dan menyelesaikan masalah human trafficking , karena permasalahan ini telah dianggap sebagai
permasalahan dunia yang tentunya membutuhkan penanganan dan kerjasama berbagai pihak.
Human Trafficking merupakan kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus dan
kerjasama antar negara untuk menanganinya. Dalam masalah ini negara-negara tersebut
diharapkan dapat bekerja sama untuk menyelasaikan masalah human trafficking. Selain
kerjasama antar negara tersebut, dibutuhkan juga institusi yang berfungsi untuk mengatur dan
mencarikan solusi terbaik mengenai kejahatan transnasional seperti human trafficking ini,
Karena dalam asumsi teori neoliberalisme dijelaskan bahwa institusi memainkan peranan
penting dalam sistem internasional, hal ini dikarenakan institusi memberikan peluang
keuntungan atau insentif terhadap aktor manapun apabila melakukan sesuatu.
Dalam kasus ini institusi yang dapat menjembatani berbagai masalah dan kepentingan
terkait human trafficking ini adalah badan milik PBB yang bergerak dalam masalah
perlindungan anak-anak yaitu United Nation Children’s Funds (UNICEF). Lembaga tersebut
memilki kewenangan dan otoritas terhadap masalah human traffcking. Institusi tersebut terbukti
juga mampu menyelesaikan masalah terkait kasus ini. Namun selain adanya institusi institusi
tersebut kerjasaama antar negara-negara yang terlibat juga merupakan faktor penting dan
menjadi prasyarat pemecahan masalah ini.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Human trafficking adalah kejahatan transnasional yang merupakan masalah sangat serius dan
merupakan ancaman bagi setiap negara di dunia. Semakin meningkatnya keberadaan orang asing
7
secara illegal dapat memberikan kerugian baik secara finansial maupun material.
2. Dibutuhkan kerjasama dan komitmen yang kuat antar negara dan instansi terkait guna
memaksimalkan penanganan human trafficking yang terus meningkat.
3. Dibutuhkan peningkatan sumber daya manusia, alokasi dan anggaran, serta sarana dan
prasarana dalam upaya penegakkan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan manusia.
4. Perlu dibuat Undang-Undang atau kebijakan khusus yang secara tegas dan jelas membahas
human trafficking, termasuk ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kegiatan tersebut
sebagai suatu tindak pidana, guna memperkuat posisi pemerintah dalam usaha menghadapi
masalah penyelundupan manusia.